Wah, artikel ini akan menjadi opini pertama saya di Kompasiana dan diawali dengan membahas perfilman. Perkenalan dulu aja ya, agar ada gambaran mengenai apa yang akan saya bahas disini dan juga karena tak kenal maka tak sayang.Â
Saya Livia, seorang perempuan, bekerja sebagai karyawan di umur 23 tahun. Singkat saja tidak apa-apa ya? Lebih lengkapnya, tunggu artikel saya berikutnya, hehe. Mari langsung ke pembahasan topik.Â
Ketika masih berumur 5 tahun, saya sudah dikenalkan oleh orang tua dengan tempat hiburan yang bernama bioskop. Saya bersyukur masih ingat dengan film pertama yang saya tonton yaitu Petualangan Sherina.Â
Sebenarnya saya tidak ingat begitu jelas bagaimana alur ceritanya karena disaat kanak-kanak, saya tidak bisa duduk diam di kursi bioskop alias saya malah main bersama teman-teman sebaya di belakang bangku.Â
Untung tidak diusir oleh penjaga bioskop karena saya, teman-teman, dan para orang tua menonton dari kursi barisan A dan B. Tapi seiring berjalan waktu, film tersebut tayang di televisi dan menjadi salah satu film favorit yang ditunggu anak-anak untuk disaksikan bersama keluarga.Â
Beranjak dewasa, saya mulai terpengaruh dengan teman-teman yang merekomendasikan film-film luar negeri. Begitu banyak film luar yang saya tonton bersama mereka dan akhirnya saya pun jadi suka.Â
Di sisi lain, tidak sedikit orang yang membandingkan film luar negeri dan dalam negeri, termasuk saya. Walaupun saya hanya penikmat dan tidak terlalu menjadi penggemar berat, namun ada beberapa aspek yang saya dan teman-teman pertimbangkan perihal ketika kita sampai di bioskop, mengapa kita harus nonton film dalam negeri dibanding luar negeri?Â
Dari pengamatan saya yang juga sebagai anak muda, aspek yang dimaksud adalah salah satunya karena film dalam negeri dianggap begitu cepat untuk tayang di televisi sehingga anak muda berpikir 'ah 5 bulan lagi juga ada di TV, ngapain bayar sekian rupiah padahal nanti bisa gratis?'. Salah duanya adalah beberapa anak muda berpikir bahwa dari segi pembuatan film, grafik, editing, dan lain sebagainya; masih lebih unggul pada film luar negeri dan mereka akan berkata 'gue mah nonton yang udah pasti worth it aja'.Â
Nah, di sini saya netral, bukan masalah benar atau salah, tetapi lebih mengoreksi dan evaluasi. Saya paham akan pemikiran-pemikiran demikian dan tidak bisa disalahkan karena film adalah hiburan yang bisa dipilih dan dinikmati oleh siapa saja.Â
Jika suka ya nonton, jika tidak suka ya abaikan saja. Namun, sebagai warga Indonesia yang sudah 23 tahun bernafas di negeri ini, saya mempunyai kerinduan untuk membangun industri kreatif ini agar kembali disukai oleh semua orang, terutama yang sebaya dengan saya.
Pada tahun 2018, ketika saya sedang menjelajah di Twitter; saya menemukan satu film dalam negeri yang menarik perhatian saya yaitu Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Seorang pemuda, murid dari pendekar misterius bernama Sinto Gendeng mendapat titah dari gurunya untuk memburu Mahesa Birawa, mantan murid Sinto Gendeng yang berkhianat.Â
Mengapa saya tertarik dengan film laga ini? Pasti yang lahir di tahun 90an, akan merasakan hal yang sama. Ketika jagoan andalannya kembali dan dikemas secara kekinian serta dibintangi oleh aktor tampan yang saya kagumi juga yaitu Vino G Bastian.Â
Tanpa menunggu lama, saya pun kembali menonton film dalam negeri dan saya kaget, benar-benar tak menyangka bahwa saya hanya fokus kepada pemeran utama pria dan ternyata pemeran wanitanya ada sosok yang saya tonton semasa kecil yaitu Sherina. Wah, di bangku bioskop, saya langsung terharu.Â
Nostalgia masa kecil bersama teman-teman langsung menghinggapi hati dan dari film ini saya semakin menguatkan tekad untuk terus merekomendasikan film dalam negeri kepada banyak orang. Film Wiro Sableng ini juga menjadi cerita yang saya suka karena pengambilan latarnya yang membuat kita kembali kepada kenangan masa lalu yang indah, alur cerita yang seru serta membuka tawa, dan editingnya pun cukup mengesankan!
Pada bulan berikutnya, muncullah kembali film dalam negeri yang sangat berhasil membuat saya ngiler yaitu Aruna dan Lidahnya. Saya mengajak teman saya untuk menonton dalam gala premiere dan kami berkesempatan bertemu dengan sang pangeran Ada Apa Dengan Cinta yaitu Nicholas Saputra.Â
Wah, perasaan saya campur aduk; antara senang ketemu aktor tampan lagi dan senang bisa membawa teman saya lebih dekat dengan pemain yang akan ditontonnya langsung di layar lebar.Â
Oke, kembali ke topik, hehe. Film Aruna dan Lidahnya adaptasi dari novel terlaris tentang seorang wanita bernama Aruna yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo yang bekerja sebagai ahli wabah serta seorang pencinta makanan juga yang ditugasi oleh perusahaannya untuk menyelidiki kasus flu burung di beberapa tempat di Indonesia yaitu Surabaya, Pamekasan (Jawa Timur), Pontianak, dan Singkawang (Kalimantan Barat) untuk melakukan penyelidikan kasus flu burung yang hanya dilakukan Aruna sekaligus juga berwisata kuliner bersama teman-temannya.Â
Bagi para food blogger yang sedang happening saat film itu tayang dan sampai sekarang, sangat menyukai alur cerita dan pengambilan latar suasana film ini.Â
Oleh karena Aruna dan Lidahnya, saya dan penonton dibuat lapar sambil berkeliling ke berbagai daerah di di Indonesia untuk mencicipi cerita dalam filmnya. Benar-benar, pengalaman menonton yang tak akan terlupakan di sejarah perfilman Indonesia. Â
Oiya, saat itu juga beberapa bioskop menyediakan makanan eksklusif Aruna dan Lidahnya untuk bisa disantap ketika film berlangsung. Keren, kan?
Sebegitu hebat dan kreatifnya pelaku industri film untuk mengemas cerita otentik dalam negeri untuk disajikan dalam layar lebar. Jujur, saya sebagai anak muda akan semakin bangga dengan kemunculan film-film yang berkualitas seperti ini. Dan di bulan Agustus 2019 ini, saya sedang menunggu 2 film yang diperankan oleh aktor-aktor tampan juga.Â
Oiya, saya juga mempunyai pengamatan bahwa jika menggandeng aktor dan aktris yang rupawan, mak akan sangat lebih mudah untuk menarik minat penonton, haha salah duanya tentu dengan keahlian akting yang memukau juga. Ya, betul! Saya sedang menantikan film Bumi Manusia dan Perburuan yang akan rilis sebentar lagi!Â
Saya sebagai pengikut Dilan 1990 dan Teman Tapi Menikah ingin sekali melihat 2 pemeran aktor andalah ini dengan karakter yang berbeda. Mulai dari film Bumi Manusia yang berkisah tentang sosok Minke, seorang pribumi terpelajar dan revolusioner pada era kolonialisme Belanda yang jatuh hati pada Annelies, putri dari Nyai Ontosoroh dan Tuan Mellema.Â
Sedangkan Perburuan bercerita tentang Hardo, seorang tentara PETA yang menjadi salah satu pimpinan pemberontakan dan diburu tentara Jepang serta dianggap penjahat nomor satu, tapi jejaknya sulit dilacak. Â Saya yakin dengan ditayangkannya kedua film ini, apalagi bertepatan dengan HUT Republik Indonesia, pasti akan semakin banyak anak muda yang sadar bahwa film dalam negeri juga mempunyai keunikan tersendiri dan bisa bersaing dengan film luar negeri.Â
Tidak hanya dalam segi pemeran, namun dari segi cerita yang sangat asli dari negeri sendiri akan membuat film-film ini menjadi sukses dan membawa harum nama Indonesia.
Jadi, pesan saya untuk teman-teman sebaya yang membaca artikel ini, film-film yang sudah saya sebutkan itu patut ditonton dan yuk mulai mencintai karya anak bangsa. Saya percaya bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang juga menghargai bangsanya sendiri.Â
Mari rayakan 17 Agustus tahun ini dengan menyaksikan film Indonesia untuk membuat industri film dan perekonomian negara menjadi lebih baik lagi :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H