Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bedah Kisah: "Petualangan Alice di Negeri Ajaib" (Bab 1)

11 Februari 2021   16:08 Diperbarui: 11 Februari 2021   16:17 2532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=629697

Hai, Kompasianer.

Apa kabar? Senang rasanya bisa kembali memplubikasikan tulisan di platform ini setelah 8 bulan hiatus. Di tahun yang baru ini, Saya memutuskan untuk 'membedah' kisah fiksi kesukaan saya sepanjang masa, yaitu Alice's Adventure in Wonderland (Pertualangan Alice di Negeri Ajaib) karya Lewis Carroll. Tentunya Kompasianer sudah tidak asing dengan kisah fantasi yang cantik dan sedikit gelap ini. Bagaimana tidak? Sejak pertama kali terbit pada tahun 1865 hingga saat ini, kisah ini mendapatkan apresiasi yang baik dari pembaca seluruh dunia dan telah diadaptasi ke dalam bentuk film, animasi, pertunjukkan teater, dan lain-lain.

Saya ingin mengajak Kompasianer untuk membaca buku Alice's Adventure in Wonderland bersama-sama dan membahas poin-poin penting yang menarik. Saya akan 'membedah' satu bab per artikel. Jadi, karena ini adalah artikel perdana, hari ini saya akan membedah bab 1, yang berjudul Down the Rabbit Hole. Jika Kompasianer tidak mengoleksi buku Alice, silakan mengakses kisahnya secara gratis di sini: http://www.gutenberg.org/files/11/11-h/11-h.htm. Untuk pengalaman membaca dan memahami yang optimal, silakan membuka link tersebut sekarang sambil membaca artikel ini.

Selamat menikmati!

Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=629624
Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=629624

Sudut Pandang Orang Ketiga Serba Tahu

Sebelum masuk ke dalam alur, saya terlebih dahulu akan membahas sudut pandang yang digunakan dalam kisah ini. Jika Kompasianer masih asing dengan unsur sudut pandang dari sebuah kisah, silakan baca pembahasan rincinya di sini. Kisah Alice menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu.

Penggunaan sudut pandang ini memang merupakan pilihan yang tepat untuk kisah ini, karena segala hal yang berada dalam benak Alice berperan penting dalam kisah ini. Seandainya, sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga sebagai pengamat, tentunya pemahaman pembaca mengenai pola pikir Alice akan terhambat. Memang amat penting mempertimbangkan sudut pandang sematang mungkin ketika menulis kisah. Saya pribadi biasanya menyesuaikannya dengan kebutuhan konsep. Jika karakter utama merupakan sosok yang memiliki sisi batin gelap yang hendak dikuak di akhir cerita untuk memberikan efek kejutan, maka mungkin penggunaan sudut pandang yang bersifat serba tahu kurang cocok dipakai. Biar begitu, pada dasarnya tidak ada ketentuan khusus mengenai hal ini karena setiap karya fiksi pasti telah melalui proses unik di mana setiap unsurnya dipengaruhi oleh berbagai hal dalam kehidupan penulis, bukan hanya strategi konsep.

Saya rasa pemilihan sudut pandang yang digunakan dalam kisah Alice's Adventure in Wonderland berkaitan dengan asal mula kisah ini tercipta. Pada tahun 1862 (tiga tahun sebelum kisah ini terbit), Lewis Carroll mengarungi Sungai Thames (Inggris) di dalam perahu, bersama Alice Liddell (yang saat itu masih berusia 10 tahun) dan kedua saudara perempuannya. Pada kesempatan itu, Carroll pertama kali menceritakan kisah Alice yang kita kenal sekarang, kepada tiga anak perempuan ini. Akan terasa ganjil jika ia bercerita dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, padahal anak perempuan yang menginspirasi karakter utamanya ada di hadapannya saat itu.

Pengenalan Karakter Melalui Monolog dan Dialog

Kisah ini tidak diawali dengan pengenalan karakter yang panjang dan deskriptif. Hanya ada satu paragraf pembuka yang menggambarkan kehidupan "normal" Alice sebelum perlahan-lahan mengalami kejadian-kejadian ganjil. Biar begitu, pembaca dapat memahami karakter Alice seiring dengan berjalannya cerita. Pada paragraf pembuka, digambarkan Alice sedang bersantai dengan kakak perempuannya, di mana si kakak sedang membaca sebuah buku tanpa gambar dan dialog. Dalam benaknya, Alice mempertanyakan kegunaan sebuah buku tanpa kedua hal tersebut. Monolog dalam benak Alice ini adalah realita (atau setidaknya 'realita' bagi dirinya) pertama yang ia pertanyakan dalam kisah ini.

Meski saya membedah kisah ini secara kronologis, namun tidak ada salahnya saya membocorkan karakter Alice sekarang agar poin pertama ini dapat dimengerti dengan baik. Salah satu karakter Alice yang paling menonjol adalah wildly curious atau "memiliki rasa penasaran yang tinggi". Karenanya, sepanjang kisah, pembaca dihadapkan dengan berbagai celotehan Alice yang mempertanyakan hal-hal tak wajar yang dialaminya di Wonderland. Jika dipikir kembali, memang bukan sesuatu yang mengherankan jika karakter Alice sebagian besar dikenali melalui monolog-monolognya (dan sedikit penjelasan-penjelasan dalam kurung dari penulis). Hal ini dikarenakan, seluruh tokoh yang ditemuinya di Wonderland merupakan tokoh-tokoh yang belum pernah menemui Alice sebelumnya. Jadi, tidak mungkin karakter Alice digali melalui dialog yang diucapkan tokoh lain yang baru ditemuinya. Meski interaksi antara Alice dan tokoh-tokoh lain dan cara Alice merespon hal-hal yang dilakukan tokoh-tokoh lain, dapat dijadikan sumber untuk mengenali Alice juga, namun tetap saja kedua hal tersebut berasal dari dalam diri Alice.  

Hal yang dapat dipelajari dari gaya pembukaan Lewis Carroll dalam kisah ini adalah, seorang penulis tidak harus menjelaskan sedetail-detailnya mengenai karakter tokoh-tokohnya di awal kisah. Pembukaan yang sederhana dan singkat dapat menjadi pilihan tepat untuk memulai kisah. Selanjutnya, tinggal bagaimana mengimplementasikan karakter si tokoh ke dalam monolog dan dialog yang diucapkan di sepanjang kisah. Dengan menggunakan gaya pembukaan seperti ini, pembaca dapat menikmati alur kisah dan mengenali karakter tokoh di waktu yang bersamaan. Poin plusnya, semakin banyak monolog dan dialog yang diucapkan para tokoh, semakin banyak waktu yang dihabiskan pembaca  untuk mendengarkan suara tokoh-tokoh ini dalam kepala mereka.

Monolog dan Dialog yang Tidak Terduga

Meski kita telah mengetahui bahwa Alice memiliki rasa penasaran yang besar, namun tidak semua hal aneh dia pertanyakan. Pada paragraf ke tiga dari Down the Rabbit Hole, dijelaskan bahwa Alice sama sekali tidak kaget atau bertanya-tanya ketika melihat seekor kelinci berbicara bahasa manusia. Dijelaskan pula bahwa ia baru menyadari bahwa itu adalah hal yang perlu dipertanyakan, beberapa waktu setelahnya. Jadi, tidak ada respon langsung dari Alice. Biar begitu, ketika melihat si kelinci, yang kemudian kita tahu bernama White Rabbit mengeluarkan sebuah jam dari sakunya, Alice langsung bertanya-tanya dan mengejarnya.

Melalui sepenggal kejadian tersebut, terlihat bahwa seorang penulis tidak perlu selalu "menempel" pada kriteria-kriteria yang ia ciptakan sebelumnya. Terkadang, ada beberapa hal yang perlu "dibelokkan" sedikit agar kisah tidak monoton dan membosankan. Kelak, ketika tiba di akhir cerita, pembaca akan menyadari bahwa karakter Alice memang wildly curious, tetapi tetap memiliki sifat-sifat dan respon-respon yang tak terduga.  

Antipati dan Antipoda

Singkat cerita, Alice mengejar White Rabbit hingga ke sebuah lubang di bawah pohon. Namun, ketika memasuki lubang itu, ia terjatuh. Pada paragraf ke-9 Down the Rabbit Hole, dapat dilihat bahwa Alice sedang berandai-andai apakah ia telah jatuh hingga menembus pusat bumi. Jika benar begitu, maka ia akan muncul dari bawah tanah di negara yang lain.

Alice menyebutkan kata "The Antipathies" (antipasti), yang merupakan permainan kata dari kata "The Antipodas" (antipoda). Dalam monolog Alice, kita melihat bahwa yang dimaksud Alice adalah Australia dan New Zealand. Seperti yang kita tahu, lokasi Australia dan Inggris berada pada posisi yang berlawanan di peta dunia. Tak heran, Alice berpikir ia akan bertemu dengan orang-orang yang berjalan terbalik jika terjatuh hingga menembus pusat bumi.

Selain kemampuan menulis yang baik, seorang penulis juga perlu menguasai pengetahuan umum atau ilmu-ilmu tertentu. Mungkin bagi sebagian orang, informasi ini terasa lebih awam jika dikaitkan dengan penulis-penulis dengan karya realis. Seorang penulis kisah-kisah realis tentunya perlu memahami berbagai hal yang benar-benar ada atau terjadi di dunia nyata, agar dapat diimplementasikan ke dalam karyanya. Menariknya, ternyata penulis fiksi-pun memerlukan pengetahuan-pengetahuan umum tersebut untuk memberikan unsur-unsur relevan dalam karya yang mengawang. Selain kisah-kisah sejenis Alice yang sudah jelas fantasi, kisah-kisah mengawang lain yang bersifat surealisme juga biasanya memiliki unsur-unsur relevan. Untuk memahami unsur relevan dalam kisah surealisme, silakan baca di sini.

Pertimbangan Berdasarkan Kontras yang Kasat Mata

Paragraf ke-12 hingga akhir cerita menceritakan tentang perjuangan Alice membuka pintu kecil yang ia temui setelah menyentuh dasar lorong. Ia sangat tertarik untuk keluar melalui pintu itu menuju taman cantik yang ditumbuhi bunga-bunga yang dilihatnya dengan mengintip sebuah lubang kecil. Di sini, kita melihat adanya kontras antara lorong gelap tempat Alice berada saat itu dan taman cantik yang berada di balik pintu dan bagaimana Alice memilih untuk berada di tempat yang secara kasat mata terlihat lebih cantik ("How she longed to get out of that dark hall, and wander about among those beds of bright flowers and those cool fountains..."). Padahal, di bab-bab selanjutnya, kita akan mengetahui bahwa Wonderland sama sekali tidak secantik kelihatannya.

Benak Alice yang mempertimbangkan di mana ia "lebih ingin berada" saat itu adalah respon wajar manusia pada umumnya. Manusia cenderung memilih segala sesuatu berdasarkan tampak luarnya saja, tanpa mempertimbangkan kemungkinan adanya aspek-aspek lainnya yang belum keliahatan. Tapi lagi-lagi, tentu saja itu adalah hal wajar, terutama bagi Alice yang saat itu berada di posisi yang buntu. Sayangnya, segala usaha Alice dan pertimbangannya untuk minum ramuan dan makan kue aneh, hanya memindahkannya dari sebuah lorong gelap ke dunia antah berantah yang sungguh asing dan tidak menerima keberadaannya. Selengkapnya akan saya bahas di artikel selanjutnya.

.

Demikian beberapa poin menarik dari bab 1 kisah Alice, yang berjudul Down the Rabbit Hole.  Semoga artikel ini bermanfaat. Jika Kompasianer punya opini-opini lain mengenai bab 1 ini, silakan tuliskan di kolom komentar.

Terima kasih.

Sampai bertemu di episode 2!

-


Artikel Edukatif Seputar Fiksi dan Bahasa

Kontak

surrealiv@gmail.com

https://www.instagram.com/livilivilivilivilivi/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun