Dulu saya seringkali kebingungan ketika menentukan nama untuk tokoh utama cerpen. Mencari inspirasi melalui website-website “arti nama” memang cukup membantu, namun tetap saja banyak waktu yang terbuang.
Jika Kompasianer mengalami kendala yang sama dengan saya, maka ada beberapa jalan keluar yang bisa Kompasianer coba. Saya membagi poin-poin saran ini menjadi dua kategori skenario.
Skenario 1: Jika Kompasianer tidak terlalu memiliki kriteria untuk nama tokoh (namun tentunya ingin cerpen Kompasianer tetap menarik), maka berikut ini adalah saran-saran saya:
- Gunakan Kata Ganti dan Sebutan sebagai Subtituen Nama
Gunakan “aku”/ “saya”, “kamu”, “dia”, “Si Perempuan” dan seterusnya. Dengan kata lain, jangan gunakan nama sama sekali. Menurut saya pribadi, solusi pertama ini sangat mudah dilakukan, namun dampaknya luar biasa. Cerpen terasa lebih deep dan unik.
Buku kumpulan cerpen Rectoverso (karya Dewi Lestari) adalah salah satu karya tulis yang sama sekali tidak ada nama tokohnya.
Sebagai gantinya, penulis menggunakan kata ganti orang pertama, kedua, ketiga, dan sebutan-sebutan lain (misalnya: “Abang” dan “Bunda” dalam cerpen Malaikat Juga Tahu) sebagai identitas para tokoh.
- Gunakan Satu Nama yang Sama Setiap Menulis Cerpen
Jika Kompasianer pernah membuat cerpen sebelumnya, tidak ada salahnya untuk menggunakan nama tokoh dari cerpen tersebut untuk cerpen yang sedang Kompasianer garap. Tidak ada salahnya menggunakan satu nama yang sama secara berulang-ulang ketika menulis cerpen yang berbeda.
Jangan khawatir, pemberian nama yang sama kepada tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen berbeda sama sekali tidak memberikan kesan monoton, justru menunjang ciri khas si penulis.
Bahkan, jika digarap dengan baik, penggunaan nama tokoh yang berulang-ulang dapat menjadi bagian dari konsep kuat dunia rekaan penulis.