Luana pernah mengecap lukanya beberapa kali, terkadang dicampur roti agar menu sarapannya lengkap. Seringnya, diselingi dengan tertawa sampai menangis.Â
Diakhiri dengan meringkuk sambil bergetar di sudut kamar karena kecewa rasa lukanya tidak sama dengan yang pernah ia cicipi waktu umur tujuh.Â
Ketika sudah selesai dengan apapun kata yang kamu gunakan ketika kamu sedang melakukan hal serupa Luana, ia meracik menu sarapan yang lain. Luana selalu lupa ada siang dan malam. Luana mengulang-ulang sarapan sambil diam-diam berharap lukanya segera habis.
Di lain waktu, tunggu, tidak ada lain waktu bagi Luana. Hari tak kunjung gelap, karena mana tega Luana membiarkan Angkasa menghitam. Di sudut berbeda kamarnya, Luana memukul dadanya berulang-ulang, ia lupa bahwa tidak ada pintu di sana.Â
Luana berharap segera mendengar langkah tergesa kaki-kaki kecilnya saat umur tujuh tahun yang kian mendekat ke sisi pintu yang lain. Tapi, bukankah seharusnya kamu tidak meminta izin untuk menemui dirimu sendiri? Lagi, siapa Luana sehingga bisa mengatur datangnya malam, atau waktu makan malam?
Luana kehilangan dirinya lagi. Dulu, menemukan dirinya dua puluh tahun ke depan bisa dilakukan hanya dengan memejamkan mata. Dalam hitungan kurang dari satu detik, Luana kecil melihat dirinya pergi ke bulan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI