Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Mencari Mimpi yang Pamit Menemui Langit

26 Februari 2019   20:10 Diperbarui: 27 Februari 2019   06:03 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com/skitterphoto

Rerumputan kerap merasa iri kala memandang Langit. Ia tahu betul Langit siang ini sangat cantik, biru muda berhiaskan awan-awan yang menari perlahan. Biar begitu, Rerumputan merasa Langit sengaja ingin memamerkan keindahannya pada semua yang bernaung di bawahnya. Lihat saja hari ini, sudah ada jutaan manusia yang memuja Langit. Selain itu, sebagian dari mereka bahkan menetapkan Langit sebagai ukuran tertinggi cita-cita.

Rerumputan masih memandangi Langit ketika mendengar seorang manusia tetiba menggerutu. "Lagi-lagi omong kosong! Siapa suruh mereka berada persis di atas tanah," ujar manusia itu kepada palang kecil bertuliskan "Dilarang Menginjak Rumput" yang ditancapkan di atas Rerumputan. Agak jauh dari situ seorang manusia lain yang lebih kecil mencabuti beberapa daun Rerumputan. Rerumputan kecewa, ia memalingkan pandangannya kepada manusia lainnya.

Rerumputan tahu manusia yang satu ini. Itu Luana! Manusia yang sebilang minggu duduk di atas kursi panjang trotoar sendirian. Selama ini, Rerumputan selalu mendapati Luana memandangi Langit sambil melakukan gerakan mengukur dengan jengkal tangan mungilnya.

Hari ini Luana mendorong sebuah gerobak besar. Kedua tangannya tampak terluka parah. Kemudian perlahan, ia mengeluarkan sebuah tangga lipat dari gerobak itu. Ia membuka lipatan tangga itu sambil terus memandangi Langit.

"Luana?" sapa Rerumputan untuk pertama kalinya.

"Ya?"

"Apa yang membuatmu mengganti runitinasmu hari ini? Lelah mengukur udara?"

Luana menggeleng, "Bukan udara yang saya ukur selama ini. Menahun saya mencoba mengukur jarak saya kepada Langit sambil membuat tangga untuk pergi menemui Langit. Hari ini saya membawa tangga yang sudah selesai saya buat, untuk pergi ke sana."

"Ada perlu apa kamu dengan Langit?"

"Langit tidak mengenal saya, namun ia mengenal seorang kawan, yang saya cari hingga kini."

"Jika tujuanmu ke Langit mencari seorang kawan yang menahun menghilang, maka kawanmu adalah satu-satunya yang tahan bercengkrama begitu lama dengan Langit."

"Sebegitu membosannya kah Langit?"

"Dia hanya terlalu angkuh," jawab Rerumputan. Lantas tanyanya lagi, "Luana, mengapa kawanmu ada bersama dengan Langit?"

Luana lantas duduk di lantai trotoar, agar lebih dekat dengan Rerumputan. Luana mengisahkan kehidupannya di masa lampau. Dikisahkannya ia pernah memiliki seorang kawan bernama Mimpi. Suatu kali, Mimpi pamit. "Mau bertemu dengan Langit, lantas meminta Langit menjaga Luana," ujarnya. Luana melepaskan Mimpi pergi dengan senang hati. Namun kini, jangankan menjaganya, Langit bahkan tak mengenalnya.

Tangan mungil Luana lantas menegakkan tangga itu dengan susah payah hingga akhirnya ujung lainnya bertumpu pada salah satu awan. Wajah Luana berubah cerah. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada Rerumputan dan puluhan manusia yang sedang mondar-mandir di trotoar, tak acuh. 

Sayangnya, baru beberapa menit mencoba menaiki tangga, Luana terjatuh. Ia mengaduh sebentar, lantas mencoba lagi. Luana terus terjatuh meski mencoba puluhan kali. Ia lantas terduduk dan menangis. Luana tidak yakin mana yang lebih sakit, tubuhnya yang jatuh berkali-kali atau jiwanya yang telah begitu percaya pada kemampuan tubuh lemahnya. Luana akhirnya menyerah.

"Berbaring saja di sini," ujar Rerumputan menawarkan.

Luana beranjak dari posisinya dan berbaring di atas Rerumputan. Manusia itu kali ini merasa cita-citanya berjarak tak melampaui seinci. Ia hanya ingin berbaring lebih lama di Rerumputan, berbaring hingga lupa semua yang terjadi menahun belakangan ini. Luana dan Rerumputan tetiba sama-sama sadar, tidak pernah ada yang pergi menemui Langit, Mimpi juga. 

Mimpi hanya menenggelamkan dirinya di dalam tanah, namun menjadikan Langit sebagai dalih agar Luana merasa tenang. Air matanya keluar tak tertahankan, terlalu banyak hingga membasahi Rerumputan. Rerumputan? Untuk pertama kalinya Rerumputan tidak merasa iri kepada Langit. Ia baru saja mendapatan asupan komponen terpenting bagi dirinya, dalam jumlah yang tak terhingga banyaknya.

Rerumputan tempat Luana berbaring,
21 Februari 2019, L

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun