Rerumputan kerap merasa iri kala memandang Langit. Ia tahu betul Langit siang ini sangat cantik, biru muda berhiaskan awan-awan yang menari perlahan. Biar begitu, Rerumputan merasa Langit sengaja ingin memamerkan keindahannya pada semua yang bernaung di bawahnya. Lihat saja hari ini, sudah ada jutaan manusia yang memuja Langit. Selain itu, sebagian dari mereka bahkan menetapkan Langit sebagai ukuran tertinggi cita-cita.
Rerumputan masih memandangi Langit ketika mendengar seorang manusia tetiba menggerutu. "Lagi-lagi omong kosong! Siapa suruh mereka berada persis di atas tanah," ujar manusia itu kepada palang kecil bertuliskan "Dilarang Menginjak Rumput" yang ditancapkan di atas Rerumputan. Agak jauh dari situ seorang manusia lain yang lebih kecil mencabuti beberapa daun Rerumputan. Rerumputan kecewa, ia memalingkan pandangannya kepada manusia lainnya.
Rerumputan tahu manusia yang satu ini. Itu Luana! Manusia yang sebilang minggu duduk di atas kursi panjang trotoar sendirian. Selama ini, Rerumputan selalu mendapati Luana memandangi Langit sambil melakukan gerakan mengukur dengan jengkal tangan mungilnya.
Hari ini Luana mendorong sebuah gerobak besar. Kedua tangannya tampak terluka parah. Kemudian perlahan, ia mengeluarkan sebuah tangga lipat dari gerobak itu. Ia membuka lipatan tangga itu sambil terus memandangi Langit.
"Luana?" sapa Rerumputan untuk pertama kalinya.
"Ya?"
"Apa yang membuatmu mengganti runitinasmu hari ini? Lelah mengukur udara?"
Luana menggeleng, "Bukan udara yang saya ukur selama ini. Menahun saya mencoba mengukur jarak saya kepada Langit sambil membuat tangga untuk pergi menemui Langit. Hari ini saya membawa tangga yang sudah selesai saya buat, untuk pergi ke sana."
"Ada perlu apa kamu dengan Langit?"
"Langit tidak mengenal saya, namun ia mengenal seorang kawan, yang saya cari hingga kini."
"Jika tujuanmu ke Langit mencari seorang kawan yang menahun menghilang, maka kawanmu adalah satu-satunya yang tahan bercengkrama begitu lama dengan Langit."