"Jangan pernah hubungi dia lagi."
"Apa? Sungguhkah dia tidak datang?" perempuan itu tampak kebingungan.
Rajani mengelap air matanya, "ya". Rajani tahu berbohong itu tidak baik, namun beberapa detik yang lalu ia menaruh simpati yang begitu besar pada perempuan di hadapannya. Kata "ibu" sudah tertahan di bibirnya. Rajani tidak ingin perempuan yang melahirkannya mati kelak karena menderita menanggung beban sendiri, akibat ditinggalkan laki-laki itu.
"Menurutmu saya harus bagaimana?" tanya perempuan itu. Wajahnya yang tampak lelah kini dipadu semburat kesedihan. Rajani tahu, perempuan di hadapannya ini meminta saran sebagai sesama perempuan.
"Jangan pernah hubungi dia lagi. Kamu pantas mendapatkan laki-laki yang menemui tepat waktu pada kencan pertama, kalau perlu yang datang jauh lebih awal sebelum kamu datang."
Perempuan itu terdiam sejenak sebelum berkata, "ya... ya, kamu benar, tentu saja. Terima kasih."
Lantas perempuan itu berdiri dan berusaha tersenyum. Tak lama setelahnya, ia menguap lagi. Rajani ikut berdiri.
"Mau ke mana?" tanya perempuan itu.
"Pulang."
"Ke mana?"
Sebelum sempat menjawab, Rajani lebih dulu terkejut karena tubuhnya hilang perlahan. Beberapa detik sebelum ia benar-benar menghilang, ia melihat laki-laki yang tadi menyambar bukunya di perpustakaan berdiri di kejauhan, juga menghilang perlahan.