"Nila Luka pergi, ya?" tanya Hijau suatu siang.
Nila sedikit terkejut karena untuk pertama kalinya, Hijau yang selama ini hanya mampir sesekali di sudut matanya, menyebut namanya.
"Ya."
"Di mana dia?"
"Bisa jadi tak jauh dari sini, bisa jadi sejauh-jauhnya. Bagaimana mungkin kamu mengenali Luka di hamparan langit?"
"Menahun berdampingan dengan Luka, masih tidak kamu kenali juga? Saya kira kamu mengenalnya sedekat nadi, sampai tercipta nama Luka.
Nila tergelak, "apakah kita mengenal nadi kita?"
"Tentu saja?"
"Seberapa sering kamu melihat nadimu?"
"Merasakan, bukan melihat," jawab Hijau.
"Jika Luka dirasakan, dia ada di sini," ujar Nila sambil menyentuh dadanya, "tapi beberapa yang lain bisa merasakan Luka di sini," kali ini Nila menyentuh lututnya, "atau di seluruh tubuh. Jadi, bukan begitu cara mengenali Luka,"
"Nila, Luka pergi ya?" tanya Hijau lagi.
"Ya," jawab Nila lagi.
"Di mana dia?"
"Sudah tidak ada."
"Bukankah dia ada di langit?"
"Ya, tadi. Sekarang dia sudah tidak ada. Buktinya, Luka tidak juga kembali. Dia pasti pergi terlalu jauh sampai hilang. Â Lantas, tidak ada."
Hijau menggeser posisi duduknya, sedikit lebih dekat dengan Nila. Mungkin terlalu dekat, hingga mereka lupa ada Merah, Jingga, Kuning, dan Ungu.
Sejenak  Nila teringat pernah duduk sedekat ini sambil berkenalan.
***
"Hai, saya Nila."
"Biru."
"Namamu seperti Luka."
22 November 2017, Livia Halim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H