Akhirnya saya bertemu Luana lagi. Mata cokelatnya cerah, rambut dan pakaiannya rapi, dan ia terlihat sehat. Ia berkisah banyak hal. Luana bilang, pernah ada masa-masa di mana ia hanya mengurung diri di kamar.
“Tidak membaca?”
Luana menggeleng.
“Tidak menulis?”
Menggeleng lagi.
“Tidak mengirim pesan ke Angkasa?”
Lagi-lagi menggeleng.
“Tidak makan,” tambahnya. “Tapi sekarang, semuanya sudah baik-baik saja.”
Luana berkisah dulu ia bercakap dengan cermin setiap hari, selama berjam-jam hingga ia ketakutan melihat wajahnya sendiri. Ia enggan bertemu dengan orang lain, ia malu karena matanya selalu bengkak dan sembab, dan rambutnya selalu kusut. Luana menceritakan semua hal yang dialaminya pada cermin, lantas berkali-kali meminta maaf karena selalu salah. Luana pernah membanting cerminnya karena ia tidak dimaafkan. Pecahan cermin itu akhirnya melukai dirinya sendiri.
“Bukan itu hal yang seharusnya kamu lakukan jika tidak dimaafkan,” ujar saya.
“Ya, tapi semua teratasi ketika saya membeli cermin baru.”