Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[Bulan Kemerdekaan RTC] Bincang Tentang Negeri Saya Setelah Umur Sepatunya Seabad

17 Agustus 2016   18:09 Diperbarui: 17 Agustus 2016   22:54 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Kamu pernah bilang negeri saya dulu tak berjiwa, namun dipaksa hidup oleh orang-orang yang berbahasa lain dengan saya. Pertama kali mendengarnya, agak mustahil memang. Bagaimana mungkin tanpa jiwa tubuh kita hidup?

Suatu kali negeri saya berjiwa, ucapmu kala itu. Ia tidak lagi dipaksa hidup. Ia berjalan ke mana ia mau, sepatunya baru dan ia mengikat tali sepatunya sendiri. Hari ini tepat 71 tahun sejak langkah pertama yang ia kehendaki sendiri itu. Apabila kelak saya sedang senggang, mungkin kamu bisa lanjutkan ceritamu, atau mungkin kita bisa berbincang lagi tentang negeri saya ketika umur sepatunya tepat seabad. Mungkin saja nanti akan...

“Luana, ini ada kiriman paket!”

Sebentar.

“Terima kasih!”

Sini bantu saya buka. Apa? Ah iya, bungkusnya warna merah dan putih. Tunggu tunggu, pelan-pelan. Jangan disobek.

...

Sayap? Oh ada suratnya. Katanya ini bisa digunakan untuk menjelajah negeri dan waktu, karena kini kita jiwa dari negeri sendiri. Jiwa sejatinya bebas menggerakan tubuh, selama tidak mematikannya. Ayo kita coba ke luar dulu lantas berterima kasih kepada pengirimnya. Coba tolong pakaikan sayapnya di punggung saya.

Oh baik, terima kasih.

...

Lihat! Semua orang di negeri ini memakai sepasang sayap. Mereka semua mendapatkan kebebasan yang sama. Hei, banyak orang berkerumun di sana! Sepertinya mereka hendak berterima kasih juga. Coba kita lihat.

Hei, mengapa mulut mereka diplester? Apakah mereka dilarang bicara? Sepertinya ada yang salah, kita jangan turun ke sana dulu. Mencoba menjelajah waktu? Boleh. Biar kita lihat apa yang terjadi di sini 29 tahun ke depan.

...

...

Hei. Saya tidak bisa melihat dengan jelas ke bawah. Sepertinya perjalanan tadi mengaburkan mata saya sedikit, selain itu saya juga sedikit pusing. Mari kita langsung turun saja dan melihat.

Waktu, mengapa mulut orang-orang di sini juga diplester? Benarkah kita sudah melewati 29 tahun? Jadi, Waktu. Kamu bilang kamu bisa memulihkan keadaan apa pun. Lantas mengapa mereka masih belum bisa bicara? Mengapa?

“Eh tunggu, mengapa membawa plester? Saya cuma mau bilang.. mmph...”

“Seben... mmmph.... sebentar!”

“Mengapa.. mmph... mengapa? Mengap

 

***

PS:

- Karya ini diikutsertakan dalam Event Bulan Kemerdekaan RTC. 

- Selamat hari jadi, Indonesia! 

- Mari tingkatkan kepedulian terhadap mereka yang tidak mampu bersuara di negeri sendiri.

--

Terima kasih Kompasiana untuk verifikasi birunya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun