[caption caption="sumber: tumblr.com"][/caption]Angkasa, saya bermaksud merapikan isi salah satu laci di kamar saya. Laci itu sudah tahunan dibiarkan terkunci. Seingat saya, isinya beberapa buku tulis tebal yang pernah saya tulisi setiap hari. Sebagian dari diri saya sempat terkesan dengan betapa mampunya saya yang dulu terikat pada suatu rutinitas. Terkesan juga kah kamu, Angkasa?
Ha.
Saya tidak sedang bicara sendiri lagi, kan?
Anehnya, saya tidak pernah ingat apa alasan saya hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti menulis kisah setiap hari. Mungkin karena kehidupan pernah sebegitu tidak menariknya. Mungkin juga karena saya pernah mati. Dan alasan kedua jauh lebih masuk akal.
Setelah mencari dengan susah payah, saya akhirnya menemukan kunci laci itu. Kunci itu terselip di dalam buku cerita anak-anak tentang dinosaurus, buku yang paling saya benci. Saya kecil tidak pernah tertarik pada hal apa pun yang berkaitan dengan dinosaurus. Membayangkan ukuran mereka seringkali membuat saya kecil bergidik. Dulu saya takut dimakan, dulu saya takut mati. Lebih dari itu, bagaimana bisa saya yang dulu menyimpan kunci itu di buku yang paling saya benci?
Sebenarnya saya ingin sekali membuka laci itu di hadapan kamu, Angkasa. Supaya kamu melihat langit yang lain. Tapi kamu pasti tidak bersedia. Kamu memiliki segalanya, melebihi Yang Lain. Mereka bilang Yang Lain punya segalanya, namun Ia bisa tiba-tiba kehilangan pengikutnya kala mereka memutuskan untuk menginjakkan kaki di jalan yang lain. Sementara kamu tidak mungkin kehilangan apa pun yang kamu miliki, Angkasa. Atau justru, hal itu membuat kamu sebenarnya tidak memiliki apa pun.
Ketika saya membuka laci itu, dari dalamnya mengalir cairan kental berwarna biru langit. Saya tidak mengerti apa yang terjadi, namun saya membukanya lebih lebar. Cairan itu mengalir semakin banyak. Namun saya tetap membukanya semakin lebar dan lebar. Akhirnya saya menyadari bahwa lantai kamar saya sudah terendam semata kaki. Mungkin kamu perlu dengar lagi, Angkasa. Cairan itu warnanya biru langit, persis seperti warnamu, meski tidak pernah bisa kamu lihat.
Angkasa, lantai kamar saya terendam semata kaki.
…
Saya melangkahkan kaki ke pintu, bermaksud mengambil kain pel dari luar. Namun ketika saya mencoba membukanya, pintu kamar saya tidak terbuka. Rupanya pintu itu terkunci. Saya tidak ingat pernah mengunci pintu kamar saya. Saking tidak ingatnya, apabila diminta membukanya sekarang, saya tidak tahu di mana kuncinya. Tapi mungkin ketidaktahuan saya akan kunci itu justru yang membuat saya terkurung di sini.
Saya bermaksud keluar melalui jendela sebelum akhirnya menyadari bahwa seluruh jendela saya sudah saya serahkan kepada kamu. Saya telah memberimu apa pun yang bisa dipakai  untuk melihat warnamu, Angkasa, termasuk sebelah mata saya.
Cairan kental ini semakin lama semakin tinggi merendam kamar saya. Saya tahu menangis hanya akan menambah airnya. Maka saya hanya duduk diam sambal memeluk lutut. Cairan ini tingginya sudah seleher saya. Tidak ada yang tahu. Ibu sedang memasak makan siang dan ayah sedang pergi bekerja.
Â
… adik sedang pergi sekolah,
5 April 2016, Livia Halim
Â
Â
Merangkak Ke Saku Angkasa | Minum Dari Cangkir Angkasa | Tulang Punggungmu Sakit, Luana | Angkasa Menghilang | Menginap di Dalam Kotak Pensil Warna Isi Sebelas | Mengunyah Angkasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H