[caption caption="Drawing pen on paper, digitally coloured."][/caption]
Kemarin Bumi menginap di rumah saya.
Kami bercakap semalaman.
Bumi tampak sangat antusias.
Ia berkisah bahwa dirinya sudah tidak sabar
untuk memecahkan celengan berisi waktu
yang ia tabung selama empat tahun terakhir ini.
“Waktu-waktu yang saya tabung
akan saya hadiahkan kepada kamu, Luana,” ujarnya.
Saya dapat bonus satu hari dari Bumi
karena kerap menggantikan bukan menemaninya kala malam.
Bulan sering enggan berbincang dengan Bumi,
ia selalu risau,
Laut yang ia kagumi tidak pernah ia dapatkan.
Maka di sana lah saya setiap malam,
menemani bumi sambil menanti
kalau-kalau Angkasa muncul dari balik awan.
Meskipun ia tidak pernah muncul.
Hari ini Bumi menyerahkan sekotak hadiah kepada saya,
katanya isinya waktu.
Saya memutuskan untuk tidak membukanya,
dan menyerahkan kepada Angkasa kelak.
Saya dengar ia sering tidak punya waktu.
Bagi Angkasa, 365 hari dalam setahun masih belum cukup.
Jika hadiah dari Bumi saya berikan kepadanya,
mungkin ia mau berbagi isinya dengan saya.
Saya pun menerbangkan hadiah dari bumi ke balik awan,
berharap Angkasa menangkapnya dari sana.
Saya salah.
Kotak itu kembali ke tanah, waktu jatuh berceceran,
semua orang memungutnya.
Saya harus kembali menemani Bumi bercakap setiap malam
agar empat tahun ke depan dapat sekotak waktu lagi.
Tanggal kabisat 2016, Livia Halim
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI