Tuk tuk tuk tuk.
Tuk tuk tuk tuk.
Tuk tuk tuk tuk.
“Luana, mengapa memandangi metronome seperti itu?
Saya kira kamu mau main piano.”
“Aneh.”
“Aneh kenapa, Luana?”
“Angkasa ada di setiap ketukan tempo.”
Seharusnya Angkasa tidak ada di sana
Seharusnya Angkasa ada di atas awan,
terlelap dan melupakan saya.
Atau di atas kertas gambar anak-anak TK,
berwarna biru muda berantakan,
sebingkai dengan sepasang gunung dan satu matahari di antaranya,
mematung dan melupakan saya.
Atau di dalam tetes-tetes air mata
yang hujan pun enggan menyapu,
terjatuh dan melupakan saya.
Saya bertanya-tanya apakah Angkasa pernah lapar
kala sedang melupakan saya.
Mungkin juga ia tidak merasa lapar sama sekali,
melupakan saya tidak membutuhkan banyak tenaga.
Melupakan saya bagi Angkasa,
semudah tidak sengaja menginjak semut di atas tanah,
hal yang sangat sering dilakukannya,
namun tidak pernah sekalipun diselali.
Jadi, Angkasa kenyang.
Tuk tuk tuk tuk.
Mengapa ada Angkasa?
Seharusnya Angkasa di atas awan.
18 Januari 2016, Livia Halim
Sumber ilustrasi: http://www.surrealist.com/