Dari tahun ke tahun, Sukuk Negara mengalami perkembangan yang pesat dan memainkan peran yang semakin krusial sebagai bagian dari sumber pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari segi volumenya, kontribusi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai instrumen alternatif pembiayaan APBN dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Jumlahnya melonjak dari Rp118,51 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp367,31 triliun pada tahun 2020.
Karakteristik SBSN yang berbasis syariah dan peranannya dalam mengembangkan pasar keuangan syariah menuntut adanya akuntabilitas syariah dalam proses penerbitannya. Peningkatan pertumbuhan SBSN dari tahun ke tahun menjadi salah satu indikator perlunya akuntabilitas yang mengikuti standar akuntansi syariah.
Prinsip syariah dalam konteks SBSN, sebagaimana dijelaskan dalam DJPPR (Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko) tahun 2010, menetapkan bahwa SBSN bukanlah surat utang negara. Sukuk Negara, atau yang lebih dikenal sebagai Surat Berharga Syariah Negara, merupakan Surat Berharga Negara yang diterbitkan sesuai dengan prinsip syariah. Sukuk ini berfungsi sebagai bukti kepemilikan atas bagian dari aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Prinsip syariah ini menjadi landasan dalam struktur dan mekanisme penerbitan serta pengelolaan Sukuk Negara.
Klasifikasi Sukuk Negara
The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) menyebutkan bahwa terdapat 14 jenis akad yang dapat digunakan dalam penerbitan sukuk. Beberapa di antaranya adalah Sukuk Ijarah, Sukuk Murabahah, Sukuk Salam, Sukuk Istishna', Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, Sukuk Wakalah, Sukuk Mugharasah, Sukuk Muzara'ah, dan Sukuk Musaqah. Sementara itu, PSAK 110 (revisi 2015) mengklasifikasikan Sukuk menjadi dua jenis utama, yaitu sukuk ijarah dan sukuk mudharabah. Perlakuan akuntansi untuk Sukuk diatur berdasarkan dua jenis klasifikasi ini sesuai dengan ketentuan yang diuraikan dalam PSAK 110 (revisi 2015).
Dalam PMK 225/PMK.05/2019, dijelaskan bahwa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dapat mengambil berbagai bentuk, seperti SBSN Ijarah, SBSN Mudharabah, SBSN Musyarakah, SBSN Istishna', SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah, dan SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dua atau lebih akad yang telah disebutkan. Namun, peraturan ini tidak membahas perlakuan akuntansi berdasarkan klasifikasi sukuk negara. Sebaliknya, peraturan ini fokus pada perlakuan akuntansi untuk Surat Berharga Syariah Negara secara umum.
Pengakuan Transaksi Sukuk Negara
Menurut PSAK 110 (revisi 2015), pengakuan sukuk ijarah dilakukan pada saat entitas menjadi pihak yang terikat dengan ketentuan penerbitan sukuk ijarah. Sementara itu, pengakuan sukuk mudharabah dilakukan pada saat entitas menjadi pihak yang terikat dengan ketentuan penerbitan sukuk mudharabah. PSAK 110 secara khusus mengatur pengakuan untuk masing-masing jenis sukuk.
Namun, berbeda dengan PSAK 110, PMK 225/PMK.05/2019 menyatakan bahwa utang SBSN diakui pada saat terjadinya transaksi penjualan, tanpa menyebutkan klasifikasi pengakuan untuk masing-masing jenis SBSN seperti sukuk ijarah atau sukuk mudharabah. Hal ini memunculkan perbedaan pendekatan antara PSAK dan peraturan yang berkaitan dengan SBSN.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan dalam pengaturan ini dapat disebabkan oleh kebijakan regulasi yang berlaku dan adanya evolusi dalam peraturan akuntansi atau keuangan. Oleh karena itu, penting untuk mengikuti pedoman dan regulasi yang berlaku pada waktu tertentu untuk memastikan kepatuhan yang tepat dalam pengakuan SBSN.
Pemerintah Indonesia belum menerbitkan peraturan khusus mengenai perlakuan akuntansi sukuk negara. Situasi ini disebabkan oleh pandangan bahwa akuntansi Sukuk Negara masih dianggap sebagai kewajiban atau utang negara. Kondisi ini mengakibatkan terdapat kekurangan terkait dengan perlakuan akuntansi sukuk negara, termasuk klasifikasi, pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan.
Sementara itu, sebagai instrumen keuangan yang bersifat syariah, penting untuk mempertimbangkan akuntabilitas syariah dalam perlakuan akuntansi sukuk negara. Oleh karena itu, untuk menjaga akuntabilitas sukuk negara yang disajikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah, diperlukan standar akuntansi pemerintah yang khusus mengatur tentang akuntansi sukuk negara.
Adanya standar akuntansi yang spesifik untuk sukuk negara akan membantu memberikan pedoman yang jelas mengenai klasifikasi, pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan sukuk negara. Hal ini juga akan memastikan bahwa perlakuan akuntansi sukuk negara sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan standar akuntansi yang berlaku.
Liva Fatrianda
Mahasiswi STEI SEBI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H