Mohon tunggu...
Abd Hafid
Abd Hafid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Ibnu Sina Batam & STAI Ibnu Sina Batam

Doktor Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta, Mahasiswa Manajemen SDM S3-UNJ tahun 2015 dengan status candidat Doktor 2018. Dosen Tetap STAI Ibnu Sina Batam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini Melalui Guru Laki-laki

28 September 2019   14:14 Diperbarui: 28 September 2019   14:27 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. (C) Abd. Hafid, S,Ag.,M.Pd.,MM

   Universitas Ibnu Sina Batam

Abstract

Early childhood education is something very complicated because small children have something special that can't be educated carelessly. Therefore, early childhood education is an effort that must be implemented in a measurable and continuous to get results in children when the next step on education. One of the factors that must be built on the child's early self is his character. Character is different from character, nature, or personality. Character is the accumulation of personality, character, and personality. Early childhood character formation in PAUD schools is not only biased by female teachers, but can also be done by male teachers. Men also have a love affection for children as well as women. There are even some things that can't be done by a female teacher that becomes a priest (for those who are Islamic). Male teachers also have a figure as a father respected by children.

Keywords: Early childhood, character, male teacher.

A. Pengertian PAUD

Berbicara tentang pengertian mengenai pendidikan anak usia dini, tidaklah sesederhana apa yang kita pikirkan, sebab ternyata pendidikan anak usia dini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Misalnya ketika kita berpikir bahwa pendidikan anak usia dini hanya berkisar pada anak kecil, balita, yang senang bermain, ternyata pemikiran kita keliru. Pendidikan anak usia dini merupakan sesuatu yang sangat rumit. Dikatakan rumit karena objek tersebut merupakan anak-anak dan anak-anak merupakan sesuatu yang special yang tidak dapat dididik asal-asalan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 146 Tahun 2014 tentang kurikulum 2013 pendidikan anak usia dini pada pasal 1 dijelaskan bahwa :

"Pendidikan Anak Usia Dini, yang selanjutnya disingkat PAUD, merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut".[1] Demikian juga pada pasal 2 tentang lembaga-- lembaga PAUD, berikut penjelasannya :

"PAUD diselenggarakan berdasarkan kelompok usia dan jenis layanannya sebagai berikut:

a. Layanan PAUD untuk usia sejak lahir sampai dengan 6 (enam) tahun terdiri atas Taman Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis (SPS),dan yang sederajat.

b. Layanan PAUD untuk usia 2 (dua) sampai dengan 4 (empat) tahun terdiri atas Kelompok Bermain (KB) dan yang sejenisnya.

c. Layanan PAUD untuk usia 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) tahun terdiri atas Taman Kanak-kanak (TK)/RA (Raudhatul Athfal)

Oleh karena itu yang disebut PAUD adalah TK, RA, PG (Play Group/Kelompok Bermain), TPA (Tempat Penitipan Anak/Day Care), PAUD RW atau tempat yang didalamnya terdapat upaya pembinaan kepada anak--anak baik yang berusia sejak lahir sampai enam tahun (Usia Dini) atau di antara usia itu (1 -- 6) dengan pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya.

Sedangkan menurut Jean Piaget, menyebutkan bahwa pendidikan anak sangat ditekankan upaya bagaimana mengembangkan teori kognitif sebagai pendekatan belajar. Keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungan fisik melalui pengalaman langsung. Selain itu, Piaget juga menyebutkan bahwa perkembangan intelektual anak merupakan sesuatu yang berkembang secara terus menerus. Tidak hanya itu, anak juga sudah memiliki motivasi dalam diri untuk mengembangkan intelektual yang dimiliki oleh dirinya sendiri.[2]

Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pendidikan anak usia dini merupakan sebuah upaya yang harus dilaksanakan secara terukur dan terus-menerus untuk mendapatkan hasil pada anak ketika nanti menginjak jenjang pendidikan lebih lanjut. Terlebih di zaman yang serta modern ini pendidikan seharusnya sudah ditanamkan kepada anak sejak usia sedini mungkin. Hal tersebut mengimbangi dengan semakin ketatnya persaingan global anak bangsa yang satu sama lain menghasilkan generasi muda yang berkualitas. Mengingat kembali tujuan dari suatu negara, Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah telah mencanangkan pendidikan yang akan diberikan kepada seorang anak dari mereka lahir hingga mengingjak usia 6 tahun.

B. Pendidikan Karakter dan Tujuannya

Tidak sedikit orang menyamakan karakter dengan watak, sifat, atau pun kepribadian. Padahal, jika ditelisik lebih lanjut, arti kata karakter dengan watak atau pun sifat tidaklah sam. Sesungguhnya, karakter merupakan akumulasi dari sifat, watak, dan juga kepribadian seseorang. Karakter di mata para ahli juga memiliki perbedaan-perbedaan sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian karakter:

1. Maxwell.

Menurut Maxwell, karakter jauh lebih baik dari sekedar perkataan. Lebih dari itu, karakter merupakan sebuah pilihan yang menentukan tingkat kesuksesan.[3]

2. Wyne

Menurut Wyne, karakter menandai bagaimana cara atau pun teknis untuk memfoukuskan penerapan nilai kebaikan ke dalam tindakan atau pun tingkah laku.[4]

3. W. B. Saunders

Menurut W. B. Saunders, karakter merupakan sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Karakter dapat dilihat dari berbagai macam atribut yang ada dalam pola tingkah laku individu.[5]

4. Gulo W.

Menurut Gulo W.  karakter adalah kepribadian yang dilihat dari titik tolak etis atau pun moral (seperti contohnya kejujuran seseorang). Karakter biasanya memiliki hubungan dengan sifat -- sifat yang relatif tetap.[6]

5. Alwisol

Menurut Alwisol, karakter merupakan penggambaran tingkah laku yang dilaksanakan dengan menonjolkan nilai (benar -- salah, baik -- buruk) secara implisit atau pun ekspilisit. Karakter berbeda dengan kepribadian yang sama sekali tidak menyangkut nilai-nilai.[7]

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil pengertian bahwa karakter akan timbul dengan sendirinya atau dengan mudah dari perilaku yang dilakukan. Pendidikan karakter anak usia dini di nilai sangat penting karena anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari.

Adapun proses terbentuknya karakter yang dimiliki oleh seseorang pada dasarnya terbentuk melalui proses pembelajaran yang cukup panjang. Karakter manusia bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Lebih dari itu, karakter merupakan bentukan atau pun tempaan lingkungan dan juga orang-orang yang ada di sekitar lingkungan tersebut. Karakter dibentuk melalui proses pembelajaran di beberapa tempat, seperti di rumah, sekolah, dan di lingkungan sekitar tempat tinggal. Pihak -- pihak yang berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang yaitu keluarga, guru, dan teman sebaya. Karakter seseorang biasanya akan sejalan dengan perilakunya. Bila seseorang selalu melakukan aktivitas yang baik seperti sopan dalam berbicara, suka menolong, atau pun menghargai sesama, maka kemungkinan besar karakter orang tersebut juga baik, akan tetapi jika perilaku seseorang buruk seperti suka mencela, suka berbohong, suka berkata yang tidak baik, maka kemungkinan besar karakter orang tersebut juga buruk.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan pasti akan terlibat interaksi dengan orang lain. Seperti para guru, karyawan, orang tua, teman, masyarakat, dan lain-lain. Peristiwa interaksi ini sangatlah rentan dengan konflik. Jika seorang individu dapat menguasai dirinya dengan baik, maka ia akan dapat menyelesaikan konflik itu dengan baik juga. Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan anak memang sangat penting.

Pembentukan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong dan berjiwa patriotik.

Tujuan pembentukan karakter adalah upaya memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah lulus sekolah, silabus.org mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah, dan membangun koreksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Pembentukan karakter yang baik, pasti akan menghasilkan perilaku individu yang baik pula. Pribadi yang selaras dan seimbang, serta dapat mempertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukan. Kemudian, tindakan itu diharapkan mampu membawa individu ke arah yang lebih baik dan kemajuan dalam pembentukan karakter anak di masa kini.

C. Peran Guru Laki-Laki Dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini

1. Pengertian Guru

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 1 tentang guru dan dosen dikatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik, guru juga dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi contoh karakter yang baik bagi anak didiknya.[8]

Guru terdiri dari guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru bukan pegawai negeri sipil. Guru bukan PNS dapat melakukan penyetaraan angka kredit fungsional guru. Penetapan jabatan fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan angka kreditnya, bukan sebatas untuk memberikan tunjangan profesi bagi mereka, namun lebih jauh adalah untuk menetapkan kesetaraan jabatan, pangkat/golongan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku sekailgus demi tertib administrasi Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil.

Demikian juga, guru terdiri dari laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender dalam aspek pendidikan hampir tidak ada lagi. Para peneliti mengemukakan tidak terlalu banyak perbedaan kemampuan kognitif laki-laki dengan kognitif perempuan. Lalu apa yang menjadi penyebab berbedanya laki-laki dan perempuan? Diene Helpern dalam Arends mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki perempuan memang ada, walaupun proporsinya hanya sedikit. Perempuan menunjukkan kinerja yang lebih baik di bidang seni bahasa, pemahaman bacaan dan komunikasi tertulis dan lisan, sementara anak laki-laki tampak sedikit lebih unggul di bidang matematika dan penalaran matematis. Perbedaan ini erat kaitannya dengan waktu dan tempat ( bersifat situasional ).

Namun Boys and Girls Learn Differently, Michael Gurian, mengatakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan akibat perbedaan otak mereka.
Perbedaan antara bentuk-bentuk kepribadian dan fisik antara laki-laki dan perempuan lebih nyata dan lebih konsisten. Laki-laki lebih asertif dan memiliki self-seteem yang lebih tinggi dibanding perempuan. Seorang anak gadis remaja menjadi kurang percaya diri secara intelektual maupun sosial. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh ras, budaya, kelas dan lingkungannya.

2. Membentuk Karakter Anak Usia Dini Melalui Guru Laki-Laki

Kemudian ditinjau dari aspek profesi, Guru adalah sebuah pekerjaan profesi. Profesi adalah sebuah pekerjaan yang dipilih karena minat, keahlian dan kebutuhan seseorang, yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi orang tersebut. Setiap orang dapat memilih profesinya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Namun jika kita berbicara tentang pekerjaan atau profesi, tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang profesi dihubungkan dengan gender. Menurut Kanter Sargeant, penyebaran lahan pekerjaan biasanya terdiri dari 85% laki-laki atau pun perempuan, kemudian Keisser, Leidner & McKenna (Sargeant, 2005) menyatakan bahwa pekerjaan dilabelkan dengan makna gender serta didefinisikan dengan istilah gender.[9]

Meni Tsigra, dalam penelitiannya tentang Male Teacher and Children Gender Construction in Preschool menemukan bahwa:[10]

a. Guru laki-laki berperan sebagai guru yang fleksibel dan tidak mengintervensi dalam memberikan kesempatan pada pengalaman anak dalam pembentukan gender.
Guru laki-laki tidak mengintervensi agar anak membentuk pelabelan atau steriotife terhadap gender anak. Guru laki-laki membiarkan anak mengeksplor kegiatan yang anak ingin lakukan atau mainkan didalam kelas walaupun anak memainkan permainan yang tidak sesuai dengan gender anak. Sebagai contoh, anak perempuan dapat memainkan permainan balok atau pertukangan dan begitu pula anak laki-laki dapat memainkan boneka di kelas walaupun permainan tersebut tidak sesuai dengan gender anak. Hal tersebut dapat meningkatkan kesempatan anak untuk melakukan banyak hal dan membangun gender nya tanpa adanya steriotife atau pelabelan. Hal tersebut dikuatkan oleh Sumsion (2005) bahwa guru laki-laki dapat menghentikan pelabelan atau steriotife terhadap gender anak.

b. Guru laki-laki sebagai figure ayah.

Anak memerlukan sosok laki-laki dan wanita dewasa agar pembentukan gendernya seimbang.[11] Anak laki-laki mengidentifikasi gendernya lewat sosok laki-laki dewasa di dekatnya dan begitu juga pada anak perempuan, anak dapat mengidentifikasi gendernya dengan melihat sosok perempuan dewasa yang ada didekatnya Namun bagaimana jika di dalam keluarganya, anak tersebut di asuh oleh single parent atau orang tua tunggal dan begitu pula sosok laki-laki dewasa lainnya yang ada didekatnya? Guru laki-laki dapat menjadi pengganti sosok tersebut. Guru laki-laki dapat berperan sebagai sosok yang positif dalam membentuk identitas maskulinitas pada anak.[12]

c. Guru laki-laki sebagai sosok "Laki-laki Tradisional"

Tsigra membuat 3 poin, guru laki-laki sebagai sosok laki-laki tradisional yaitu:[13]

1). Guru laki-laki melakukan "Pekerjaan laki-laki" 

Guru laki-laki dapat memperlihatkan perilaku-perilaku atau tugas-tugas yang biasa laki-laki lakukan seperti mengangkat barang-barang yang berat, memaku, memperbaiki furniture (meja, kursi), memperbaiki genteng dan lain sebagainya.

2) Guru laki-laki dapat mengatur dan mendisiplinkan anak

Guru laki-laki dapat memperlihatkan perilaku maskulinitas. Menurut Tsigra (2010) dalam penelitiannya banyak orang tua percaya bahwa guru laki-laki dapat berkontribusi untuk mendisplinkan anak dan menurunkan permasalahan perilaku pada anak.

3). Guru laki-laki sebagai figure yang memiliki otoritas atau kekuatan (A man power)

Orang tua dapat menghargai dan berkomunikasi dengan baik dengan guru laki-laki. Terkadang guru perempuan pun dapat menanyakan dan meminta saran tentang masalah yang dihadapinya kepada guru laki-laki. Kemudian sosok "A man power" yang guru laki-laki miliki menyebabkan anak sedikit lebih segan "sedikit takut" sehingga anak lebih mendengarkan apa yang dikatakan guru laki-laki.
Mengacu pada fungsi dan peran laki-laki sebagaimana disebutkan di atas, maka sosok guru laki-laki sangatlah penting dalam pendidikan anak usia dini. Oleh sebab itu, steriotife tentang profesi guru di TK atau Preschool harus diubah, karena anak memerlukan kedua sosok tersebut agar seimbang. Semoga kedepannya, paradigma profesi guru TK atau preschool sebagai profesi feminis berubah sehingga keterlibatan laki-laki dalam pendidikan anak usia dini semakin berperan lebih banyak.

Referensi :

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian edisi revisi. Malang : UMM Press.

Amin, M. Maswardi.2011. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Jakarta : Badouse Media

Arends, I.R. (2007). Learning to teach, seventh edition. New York: McGraw-Hill.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Depdikna

Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo.
http://www.pendidikankarakter.com/membangun-karakter-sejak-pendidikan-anak-usia-dini/

http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-pendidikan-karakter-dalam-dunia-pendidikan/

Maxwell Chandler, H., Chandler, R. 2011, Fundamentals of Game Development. LLC: Jones & Barlett Learning

Mondy, R. Wayne. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Erlangga

Mnks, F. J, A.M.P. Knoers, S. R. Haditono. (2002). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muchlish, MAsnur. 2011. Pendidikan Karakter, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Munandar. (2005). Psikologi Belajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Owen, Charlie. (2003). Men Work?Changing The Gender Mix of The Childcare and Early

Years Workforce.[Article] Senior Research Officer. Thomas Coram Research Unit. Institute of Education: University of London

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 146 Tahun 2014 tentang kurikulum 2013 pendidikan anak usia dini

Piaget, Jean, Antara Tindakan Dan Pikiran, disunting oleh Agus Cremers, PT. Gramedia, Jakarta, 1988

Regezi JA, Sciubba JJ, Pogrel A. Atlas of oral and maxillofacial pathology, Philadelphia : W.B Saunders Company, 2000, 33-6

Sargeant, Paul. (2005). The Gendering of Men in Early Childhood Education. [Journal] Sex Roles, Vol. 52, Nos. 3/4, February 2005 ( C 2005

Sudjana, N. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N. S. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Tsigra, M. (2010). Male Teacher and Children Gender Construction in Preschool Education. [Journal] OMEP -- World Congress, August 11-13, 2010 Gothenburg, Sweden

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun