Bunda saya selalu berpesan dan mengingatkan saya untuk selalu menjadi seorang yang tulus dalam menjalani hidup.
Tulus membantu orang lain. Tulus dalam bekerja. Tulus dalam menyayangi orang lain.
Tulus.
Kata yang sampai saat ini saya belum benar-benar mampu mengartikannya.
Ada yang bilang tulus itu menerima apa adanya, tanpa pamrih.
Ada juga yang berkata bahwa tulus itu hanyalah kiasan semata. Tidak ada hal yang benar-benar dilakukan tanpa pamrih oleh manusia. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu mengundang konsekuensi, meminta imbalan.
Tapi saya yakin, Tulus itu masih ada. Dalam setiap cerita-cerita yang dituturkan oleh bunda. Betapa ketulusan seseorang hanya akan berdampak positif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Setiap usaha dan pengorbanan yang dilakukan dengan setulus hati akan selalu berbuah manis dan abadi untuk dikenang.
Saya membayangkan betapa dunia akan kacau jika setiap manusia tidak memiliki rasa tulus. Tulus untuk membantu orang lain atau bahkan tulus untuk menyayangi orang lain.
Apa jadinya jika suami istri ternyata tidak benar-benar tulus untuk saling menyayangi dan menjaga. Sama seperti seorang arsitek membangun sebuah gedung tanpa diserta rasa tulus untuk membangun sebuah gedung yang indah dan kokoh. Akan bertahan berapa lama kah sesuatu tanpa ketulusan?
Kali ini saya benar-benar merenung. Benarkah selama ini saya sudah menjadi orang yang tulus. Atau segala sesuatu yang saya lakukan hanyalah untuk mendapatkan imbalan?