Mohon tunggu...
Danu Yanuar Saputra
Danu Yanuar Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad saat ini sebagai Mahasiswa Magister Terapan Studi Pemerintahan Pascasarjana IPDN

Sebagai Pembaca, Peneliti, Pembelajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Panggilan terhadap Elite Intelektual, Sebuah Alarm Kemajuan Suatu Bangsa

11 Juli 2024   23:31 Diperbarui: 11 Juli 2024   23:37 0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Danu Yanuar Saputra

“Pena Lebih Tajam daripada Pedang”

Adalah idiom klasik yang paling relevan dengan zaman modern saat ini, menggugah kesadaran semua orang mengenai ilmu merupakan kekuatan terbesar dalam kemajuan peradaban. Serta keunggulan pemikiran daripada setiap kaum intelektual yang hidup dalam setiap babak zaman yang tersebar diseluruh penjuru dunia, menjadi misionaris terdepan dalam menawarkan sebuah konsep bagi kehidupan. 

Dunia yang kian dinamis mempertemukan tesis dan antitesis dalam spektrum dialektika antar ideologi, mengakibatkan pertemuan pemikiran para elite intelektual bak ayam sabung yang terus di adu, yang diaminkan oleh konsensus masyarakat juga negara adalah sebagai Ayam Jago Sintesis Pemenang.

Melalui studi historis mengidentifikasi bahwa pergeseran cara manusia terhadap kekuasaan melalui jalan peperangan serta kengerian berhasil dialihkan dengan prinsip moralitas dan etika, Hak Asasi Manusia merupakan penemuan paling canggih oleh Elite Intelektual dalam sejarah umat manusia yang akan terus menjadi pegangan hidup hingga akhir zaman. 

Hingga kini buah pikiran para pemikir di pasar peradaban akan terus diperjual belikan, dan konsep pemikiran yang paling laku akan terjual habis, diproduksi kembali  secara masif, dan disebarluaskan diseluruh penjuru dunia.

Peran elite intelektual saat ini hendaknya tak terlalu dingin sehingga membeku dibelakang tugas dan kewajiban oleh kampus, namun juga hendaknya tidak menjadi Demagog yang menjadi api terlalu besar sehingga mengabaikan prinsip demokrasi dan kebenaran sehingga nyaring hanya untuk memuluskan kepentingan politik keberpihakan.

Elite intelektual adalah malaikat penolong diantara para Setan Populis Politis yang hanya mengedepankan motif kekuasaan demi kepentingan pribadi dan golongan. Elite intelektual adalah aktor yang bisa bermain di belakang, ditengah, dan di depan untuk mewujudkan Equilibrium Society.

 Urgensifitas peran para elite intelektual saat ini dalam setiap topik kehidupan bukan hanya sibuk di dapur akademis. Peran praktis dapat dilakukan sebagai pendamping juga pembisik kepemimpinan kekuasaan, atau dalam membersamai masyarakat dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang terdapat dalam realitas sosiologis, bahkan setelah penuh isi kepala dan mengalami kematangan mental dan intelektual memilih untuk transformasi identitas dari akademisi menjadi politisi. 

Pilihan jalan demokrasi juga pada akhirnya memberikan jalan keleluasaan bagi para intelektual untuk lebih mampu tampil terdepan dalam kontestasi kekuasaan. Intelektual sebagai Agen Kekuasaan menurut Foucoult bukan lagi sebatas melalui Institusi, namun juga dapat dilakukan secara langsung melalui politik praktis yang telah memperoleh lampu hijau konstitusi sebagai hak setiap warga negara.

Konsep yang ditawarkan oleh setiap pemikir hendaknya di apresiasi, namun sebagai manusia yang merdeka hendaknya membudayakan sikap skeptis, sebagai upaya untuk terus menguji dan mengkaji setiap gagasan yang akan dan telah di gunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Sehingga terdapat komitmen bersama bahwa konsensus terhadap sebuah konsep bukan sekedar perayaan dan simbolisme sehingga terkesan hanya sebuah pajangan, namun masyarakat memahami benar pada hakikat esensialis dan praktis sehingga menjadi pedoman hidup bersama. 

Konsep Elite Intelektual saat ini dapat di pahami hendaknya bukan sebatas eksistensialisme, ego dan keakuan. 

Namun adalah perjuangan untuk berkesadaran bersama, elite intelektual adalah sebagai penggugah bagi peran masyarakat modern yang tertidur pulas karena belum memahami posisi mereka yang telah setara dengan raja dalam konteks demokrasi yang di agung-agungkan saat ini. 

Partisipasi dan masyarakat bersuara adalah indeks keberhasilan sebuah negara yang mengaku demokratis,  dan peran elite intelektual sebagai penggugah juga adalah “Metronom” yang memastikan tempo dan nada antara pemerintah, kelompok kepentingan dan masyarakat berjalan dengan merdu, harmoni dan seimbang. 

Dalam konteks Intelektual Indonesia saat ini, seperti sebuah miniatur sejarah dunia yang hampir seluruh babak cerita di belahan bumi terdapat dinegara ini. 

Para pemikir Nusantara telah memiliki landasan filosofis kebenaran yang mengakar kuat sejak ribuan tahun bahkan masih relevan dengan realitas masa kini tak kalah dengan filsuf Yunani zaman kuno, kehadiran pedagang arab dan ulama yang menyebarkan agama islam dan menjadi agama yang paling banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia juga melahirkan pemikir islam bak masa keemasan Islam di abad ke 8, Penjajahan terhadap Nusantara melahirkan intelektual muda seperti Cokroaminoto, Agus Salim, Tan Malaka, dan Soekarno dan banyak pemikir lainnya yang ditekan keadaan untuk menyuarakan kemerdekaan dan pemikiran kritis dan progresif seperti para tokoh pencerah di Eropa, kemudian era para cendekiawan reformis yang gagah berani hingga saat ini masih bisa di saksikan di layar kaca entah berperan sebagai politisi, akademisi, bahkan pembicara.

 Seleksi buah pikiran yang dihasilkan dari ujung timur bahkan ujung barat bumi yang dianggap sebagai pusat pemikiran peradaban, telah mengalami banyak penerimaan dan penolakan di bumi Indonesia. Namun, semua itu adalah adalah bagian dari proses kedewasaan berbangsa dan bernegara juga menjadi bahan bakar untuk menghantarkan rakyat Nusantara menjadi Indonesia saat ini.

Di Indonesia, porsi jumlah elite intelektual organik yang diistilahkan oleh Gramschi, sebagai kaum pemikir yang tumbuh bersama organisasi masyarakat juga dapat kita lihat berkembang pesat saat ini. 

Bahkan sekarang menjadi sebuah fenomena di kalangan anak muda, melakukan gerakan literasi, menciptakan ruang diskusi melalui platform media sosial, membahas banyak isu kontemporer politik dan pemerintahan.

 Intelektualisme dalam aktivitas sehari-hari telah menjadi gaya hidup sebagian milenial saat ini, pamor para pemikir muda dalam menyampaikan diskursus tak kalah dengan para personil band dan menjadi model dan referensi khususnya bagi mahasiswa di kampus. 

Sekiranya kita berbangga dengan anak muda Indonesia saat ini yang telah menyajikan banyak diskusi menarik, dan fenomena menjadi intelektualis menjadi gaya hidup hendaknya kita syukuri sebagai pijar yang menyala-nyala bagi kemajuan hidup berbangsa.

Waktu dan Semesta memang secara alamiah mampu melahirkan dan membentuk setiap aktor yang relevan dengan situasi serta kondisi zaman, setiap panggung persoalan selalu menghadirkan aktor yang tepat sebagai penuntas dan penyelesai. Peran Elite Intelektual sebagai penyambung lidah rakyat adalah hal yang sangat relevan saat ini. 

Mengkalkulasi kontribusi nya adalah sama sulit nya seperti membujuk untuk berperan dalam penuntasan setiap persoalan khususnya para pemikir dan intelektual pertapa yang berada jauh di belakang padahal memiliki kapasitas untuk menuangkan solusi terkait permasalahan berbangsa dan bernegara. 

Sebagai fungsi kritik, memang tidak harus dibersamai dengan solusi. Namun, kultur masyarakat Indonesia tentu mengharapkan sebuah sajian diskusi yang bukan hanya sekedar pamer retorika dan kekayaan diksi akan tetapi solusi untuk negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun