Mohon tunggu...
Lita Widyawati
Lita Widyawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra

K-Pop and Books enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Siswa SDN Renged 1: Kak Ini Pertama Kalinya Aku Mengetik di Laptop!

6 November 2022   11:15 Diperbarui: 6 November 2022   11:26 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Kampus Mengajar 2 dan Siswa SDN Renged 1 (Sumber: Dokumen Pribadi)

Pemeratan sebagai Gerbang Awal Merdeka Belajar

Ketika kita mendengar kata “pemerataan”, sesungguhnya memang diartikan sesuai dengan persepsi masyarakat, yaitu distribusi fasilitas dalam bidang pendidikan secara adil dan merata di seluruh Indonesia. Baik di daerah yang dekat ibukota maupun yang jauh sekali, di luar bayangan kita jika ada beberapa desa nun jauh di sana sangat kesulitan mengakses pendidikan, sedang siswa semangat membara menuntut ilmu, Adapun ruang kelas dan fasilitas sangat kurang memadai.

Pernah kita melihat di berita ada sebuah Sekolah Dasar yang mengharuskan kegiatan belajar mengajar (KBM) dilakukan di bekas kendang sapi karena tidak adanya ruang kelas, bahkan sekolahnya pun tidak memiliki Gedung yang sama seperti sekolah dasar ibukota. Jauh sekali.

Selain mengenai fasilitas, penulis percaya dalam kata “pemerataan” ini juga termasuk ke dalam tenaga pengajar dan buku ajar yang bahkan tidak setiap anak mendapatkannya. Jarang sekali tenaga pengajar yang ingin ditugaskan di daerah nun jauh di ujung Indonesia, karena itu kurangnya guru menjadi salah satu faktor penghambat siswa dalam memperoleh pendidikan. Selain itu, buku pelajaran yang seharusnya bisa didapatkan secara gratis oleh siswa, namun tidak bisa didapatkan oleh segelintir siswa hanya karena mereka tinggal di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) karena sulitnya akses.

Pada tahun 2019, secara mendadak virus Corona merangsek dan menyebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dan efeknya siswa dan tenaga pengajar dipaksa untuk beradaptasi secara cepat dengan sistem pembelajaran online yang memerlukan teknologi untuk melakukannya. Sepeti ponsel pintar, laptop atau komputer, sinyal yang baik, paket data internet dan Wi-Fi, lingkungan yang kondusif, dan hal lainnya yang perlu dipersiapkan secara matang.

Lantas, siapakah yang bisa melakukan pembelajaran daring?

Hanya mereka yang memiliki fasilitas tersebut. Dan ini pun tak jauh dari peran orang tua apakah bisa memenuhi hal tersebut atau tidak untuk anaknya belajar di rumah.

Jika orang tua tidak bisa memenuhi hal tersebut?

Maka siswa tidak dapat ikut kegiatan belajar mengajar, sehingga harus belajar mandiri tanpa seorang guru yang akan sulit dilakukan karena tidak ada tempat bertanya.

Dan ini betul terjadi dalam pengalaman saya mengikuti kegiatan Kampus Mengajar Batch 2 pada bulan Agustus hingga Desember 2021. Saya ditempatkan di sekolah yang bergedung baru dan terdiri dari 6 kelas, yang letaknya kurang lebih 10 KM dari tempat tinggal, SDN Renged 1 nama sekolahnya. Apakah daerahnya sangat terpencil sekali? Tidak sama sekali. Masih bertempat di kabupaten yg sama dengan saya, pemerataan fasilitas tenaga pendidik, Wi-Fi buku ajar, bahkan buku-buku pelengkap, seperti dongeng, hikayat lama, dan novel-novel, sudah terakses. Kemudian penggunaan 2 laptop sekolah dan infocus pun sudah diberikan dari dana BOS, meskipun belum bisa digunakan karena waktu itu sedang pandemi dan pembelajaran online sedang dilaksanakan. Ketika saya dan kelompok sampai, kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara luring dan daring (Blinded Learning). Di luar itu, ternyata terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai pemerataan.

Sekolah tersebut merupakan sekolah dasar negeri, meskipun baru dipindahkan dan menempati Gedung baru yang lebih luas, ruang kelas masih sangat kurang, yaitu hanya berjumlah 6 kelas dengan total seharusnya 9 kelas karena ruang kelas 1, 2, dan 6 mempunyai 2 kelas, A dan B. Kemudian kurangnya ruangan yang sangat penting sekali untuk dimiliki, seperti ruang Unit Kesehatan Siswa, ruang ibadah, dan ruang perpustakaan yang belum ada. Tentu ini menjadi penghambat karena ruang ibadah dan perpustakaan menggunakan ruang kelas 4 sebagai penggantinya.

Kemudian saya berharap adanya ruang komputer untuk siswa-siswi mempelajari IT (Information Technology) sejak dini, karena melihat bahwa dunia sudah berkembang dengan sistem teknologi yang semakin luar biasa. Dan sebuah keharusan bagi anak bangsa untuk bisa beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi di masa kini maupun di masa yg akan datang.

Sesuai dengan slogan Kampus Merdeka yang menginginkan setiap anak memiliki kesempatan untuk Merdeka Belajar di setiap langkah yang mereka ambil dalam meraih cita-cita, yaitu salah satunya dengan pengenalan dan pengajaran teknologi informasi kepada siswa.

Hal tersebut tidak luput dari salah satu program kerja saya dengan kelompok ketika melaksanakan Kampus Mengajar Batch 2. Kami mengajak siswa kelas 6 untuk mempelajari pengoperasian laptop, di mana laptop yang digunakan ialah milik kami karena laptop milik sekolah sendiri tidak mencukupi. Selain itu, kami juga mengajarkan bagaimana menggunakan aplikasi Google Meeting di laptop karena mereka hanya terbiasa menggunakan aplikasi tersebut melalui ponsel pintar.

Dan kami berpikir kegiatan ini akan berjalan dengan lancar, hingga salah satu siswa berseru, “Kak ini pertama kalinya aku mengetik di laptop! Susah banget, ya.”

Saya sendiri tercenung seakan baru tersadar bahwa kesempatan mempunyai laptop pun tidak setiap anak bisa memilikinya. Bahkan kebanyakan dari mereka tidak mempunyai laptop, karena memang untuk setingkat SD, ketika melakukan kegiatan pembelajaran dapat cukup menggunakan ponsel pintar saja. Dan saya menjadi terdiam ketika ada seorang anak yang tidak hadir karena tidak memiliki ponsel pintar. Setiap informasi sekolah, termasuk dengan jadwal sekolah, selalu diinformasikan dari para guru kepada siswanya melalui Whatsapp. Pun sebagian besar siswa menggunakan ponsel pintar milik orang tua mereka, sehingga sangat wajar tidak semua siswa memiliki ponsel pintar.

Setelah kejadian tersebut, di sepanjang jalan menuju rumah, saya memikirkan bahwa ternyata pengaruh teknologi dalam hidup manusia tidak bisa dipisahkan lagi. Karena itu mau tak mau siswa harus dapat menyesuaikan diri dengan hal tersebut.

Dan dalam hal ini, dapat dimulai dari tersedianya fasilitas sekolah mengenai teknologi, seperti pengadaan beberapa komputer sebagai praktek dan latihan hal-hal dasar mengenai IT. Meskipun di buku ajar tidak ada bahasan mengenai teknologi, karena merasa siswa SD masih terlalu dini untuk mempelajarinya. Justru akan lebih baik jika siswa diperkenalkan hal yang sangat dasar terlebih dahulu, agar di tingkatan pendidikan yang berikutnya, yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sudah mulai mempelajari komputer beserta aplikasi dan pemanfaatannya.

Dengan pemerataan dalam bidang teknologi seperti ini, diharapkan dapat ikut membantu siswa beradaptasi dengan era 5.0 di masa kini dan mendatang.

Merdeka belajar, tidak hanya memerdekakan siswa dengan berkreasi dan berkreativitas dengan sistem pengajaran Student Center, namun juga diharapkan membantu siswa menjelajah hal dan bidang baru yang memenuhi rasa penasaran mereka. Pendidikan merupakan hak setiap anak, begitu pula dengan pemerataan tingkat pendidikan di setiap daerah. Berikut dengan cita-cita yang setiap langkahnya diiringi dukungan dari keluarga, orang di sekitar, dan negara Indonesia.

Hidup Merdeka Belajar!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun