Sebagai pengguna jalan tol hampir setiap minggu, lebaran mudik lewat jalan tol disertai rasa was-was. Kenapa? Setiap dua minggu sekali, keluarga saya harus berangkat subuh dari Malang ke Sidoarjo lewat jalan tol. Biasanya kami kena macet di daerah Lawang dan di pintu tol Waru.
Lama-kelamaan kami merasa itu adalah hal yang wajar mengingat banyak komuter yang bekerja di Surabaya, baik dari Malang, Sidoarjo maupun Pasuruan. Jadi, antrian panjang di pintu tol adalah wajar. Namun, tak sedikit pula terjadi kecelakaan atau kendaraan mogok hingga menimbulkan kemacetan yang panjang.Â
Biasanya kami selalu mengupdate berita lewat radio Suara Surabaya (e100) atau juga akun twitter-nya yang biasanya dapat informasi dari masyarakat tentang kondisi lalu lintas baik dari Malang ke Surabaya, Surabaya ke Malang, di dalam kota Surabaya itu sendiri, hingga di daerah lain di Jawa Timur.
Pengalaman selama menggunakan tol itu yang akhirnya membuat diri merasa was-was saat mudik lewat tol. Keluarga saya setiap tahun selalu mudik ke Sragen. Mulai dari tol belum jadi sampai tahun ini tol sudah jadi.
Dulu, ketika tol belum jadi, kami selalu melewati rute Malang-Batu-Pujon-Kertosono-Nganjuk-Jombang-Caruban-Ngawi-Sragen. Kemacetan sering terjadi di daerah Caruban dan Saradan. Kita tak bisa menghindari rel kereta api yang cukup banyak.Â
Pernah juga kami mengalami kemacetan di luar Caruban dan Saradan yang ternyata penyebabnya adalah kecelakaan atau truk mogok. Alhasil perjalanan terlama dari Malang ke Sragen selama mudik sebelum ada tol adalah sembilan jam! Kecepatan kendaraan pun tidak lebih dari 80 km/jam. Sampai Sragen saya benar-benar menghabiskan diri untuk tidur-tiduran saja. Benar-benar melelahkan.
Ketika jalan tol dalam pembangunan, beberapa ruas jalan tol digunakan secara fungsional saja. Beberapa kendaraan banyak yang beralih ke jalan tol fungsional tersebut. Namun, saat jalan tol masih terputus, otomatis terjadi penumpukan kendaraan yang keluar dari jalan tol. Dan itu menjadi salah satu penyebab kemacetan ketika mudik.
Ketika tol baru jadi dan semua orang menggembor-gemborkan perjalanan mudik yang menjadi lebih lancar dan lebih cepat, saya cuma membatin, apakah anggapan itu sepenuhnya benar?
Tahun 2019 adalah mudik pertama bagi masyarakat Indonesia dengan menggunakan tol trans Jawa. Pemudik dari Jakarta ke Surabaya, Semarang-Surabaya, Semarang-Solo-Surabaya -Malang sudah bisa memanfaatkan jalan tol. Keluarga saya dan keluarga mbak saya pun mencoba memanfaatkan fasilitas tersebut.Â
Karena kami baru selesai kumpul keluarga di Batu, jadi berangkat mudik kami melewati Pujon. Rencananya kami akan masuk tol di Kertosono. Namun, berbekal arahan Google Maps, dimana ada titik-titik pengalihan arus lalu lintas, kami pun belusukan ke jalan-jalan kampung untuk bisa tembus ke jalan besar.
Ternyata Google Maps belum terupdate. Jadi kami salah mengambil jalan. Begitu sampai jalan utama Kertosono, lalu lintas dua arah cukup macet. Baik yang menuju ke Nganjuk maupun ke arah surabaya. Kendaraan yang berangkat dari Pujon dan ingin masuk tol Kertosono terpaksa harus masuk dari pintu tol Nganjuk. Begitu di pintu tol Nganjuk, antrian sudah mengular. Kira-kira ada sekitar 30 menit hanya antri di gerbang tol saja.
Begitu sampai dalam tol, maunya si supir ngegas di jalan tol mengingat kemacetan sudah memakan waktu yang cukup banyak. Sayangnya, kecepatan maksimal yang diperbolehkan di jalan tol adalah 80 km/jam dan 100 km/jam tergantung lokasinya. Bagi supir yang taat aturan, batas maksimal itu membuat kami tidak cepat sampai. Ketika yang lain berbangga-bangga update status bahwa perjalanan mudik mereka sangat cepat, saya cukup gregetan sama si supir saya.
Ketika saya minta gas poll, biar cepat sampai, jawabannya "Lama-lama kasihan mobilnya, nggak sampe lima tahun udah pensiun. Ban juga lama-lama bisa panas."
Saya tidak begitu paham sama dunia permesinan. Namun, sebuah pertanyaan bodoh yang muncul dalam benak saya, kenapa kendaraan-kendaraan itu dibuat dengan kecepatan di atas 100 km/jam kalau harus ada batasan maksimal kecepatan di jalan tol ? saya kira mobil-mobil sekarang memang dirancang untuk tahan berlama-lama di jalan tol dengan kecepatan tertentu atau memang dirancang untuk ngebut di tol?
Saya pun mencoba menghitung-hitung dengan rumus V =S/t. Jarak dari Sragen ke Malang via tol lewat Surabaya (home to home) sekitar 307 km dan waktu tempuh seperti yang disebutkan di Google Maps selama 4,5 jam, maka kecepatan yang ditempuh sekitar 69 km/jam.
Dan ternyata supir berhasil membuktikannya! 4,5 jam sudah sampai Malang dengan satu kali istirahat di rest area tidak sampai 15 menit. Tentunya, perjalanan lebih cepat dibanding tanpa lewat tol yang menghabiskan 9 jam perjalann dengan rute Sragen-Malang. Ketika saya tanya, berapa kecepatannya? Katanya 100 km/jam!Â
Meski beda dengan Google Maps, yang saya soroti adalah akhirnya supir saya melanggar aturan juga! Ternyata memang lewat tol itu bisa cepat sampai tujuan namun... perlu dilihat apakah kecepatannya sesuai standar yang ditetapkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H