Mohon tunggu...
Lita Lestianti
Lita Lestianti Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ibu rumah tangga

No culture, No Future!

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Berkunjung ke Kota Reog Ponorogo

16 Juni 2018   00:21 Diperbarui: 16 Juni 2018   11:01 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sate Ngepos Ponorogo

Setelah merayakan Idulfitri di rumah keluarga ibu, hari kedua saatnya lebaran di rumah keluarga bapak di kaki gunung. Sebuah desa yang cukup dingin di timur kota Ponorogo, Singgahan. Perjalanan dari Sragen ke Singgahan membutuhkan waktu sekitar tiga jam dengan mobil.

Setiap saya pergi ke Ponorogo, ada banyak hal yang membuat saya rindu. Kenangan masa kecil yang masih teringat sampai sekarang.

- Sate Ngepos Ponorogo

Kalau saya mau ke rumah mbah pasti selalu melewati sate ngepos ini. Sebenarnya di belakang rumah makan sate pos ini juga banyak stand-stand penjual sate ponorogo. Kenapa sampai disebut sate pos? 

Dulunya, di daerah ini ada terminal bus dan ada pos tapi sekarang terminalnya sudah berpindah. Sehingga namanya saja yang masih tersisa. Sate ponorogo ini menjadi sangat terkenal karena dagingnya yang tipis, gepeng dan panjang. Belum lagi bungkusnya yang menggunakan besek.

- Sate dan Gule Kambing

Kalau ini kesukaan bapak saya. Tiap ke Ponorogo, bapak memilih beli sate dan gule kambing ini ketimbang sate Pos. Alasannya, gulenya dimasak di kuali dan rasanya sangat enak. Kalau saya tidak begitu suka gulenya tapi sate kambingnya yang dicampur dengan kecap manis, kubis, irisan bawang merah dan tomat. 

- Ketenangan dan Udara Dingin

Desa Singgahan berada di daerah ketinggian. Itu membuat suasana di desa Singgahan sejuk. Kalau malam dan pagi hari udara cukup membuat badan menggigil. Belum lagi airnya sedingin es. Maka, kalau kalian yang biasa tinggal di daerah yang panas pasti akan kedinginan.

Nggak cuma daerahnya yang dingin, ketenangannya seperti di desa pada umumnya membuat kita melupakan sejenak hiruk pikuk kehidupan perkotaan.

- Rumah Jawa

Satu lagi yang membuat saya suka dengan kehidupan di desa adalah rumah-rumah penduduknya masih tradisional. Ciri khas arsitektur tradisional Jawa terlihat di desa tempat keluarga bapak. Rata-rata rumah Jawa berbentuk limasan dengan pintu di bagian tengah dan atap bagian tengahyang lebih tinggi dibanding atap belakang. Sebenarnya rumah jenis ini banyak di desa keluarga ibu. 

Entah mengapa saya merasa senang melihatnya. Sedangkan rumah di desa keluarga bapak sudah banyak bagian yang di renovasi.

- Pawon

Dalam bahasa Jawa, pawon itu dapur. Dapurnya jaman dulu masih berlantai tanah dengan tungku-tungku yang khas. Sampai saat ini, pawon rumah mbah masih ada. 

Sayangnya, bahan bakar yang berupa kayu dan minyak gas sudah sangat jarang dijual. Jadi, bude, yang menempati rumah mbah sekarang, memakai kompor s yang lebih praktis. Padahal tujuannya tungku yang mengepul-ngepul itu untuk menghangatkan diri saat pagi dan malam hari.

- Nasi bungkus daun jati

Waktu kecil dulu bude pernah membelikan nasi bungkus daun jati. Rasanya memang sangat sedap. Nasi bungkus daun jati ini masih ada sampai sekarang.

Demikian hal-hal yang kurindukan setiap Idulfitri hari kedua di rumah keluarga Ponorogo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun