Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016, Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan adalah pendapatan non upah yang harus dibayarkan pengusaha kepada pegawai/karyawan atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.
Pegawai yang sudah bekerja satu tahun wajib menerima THR sesuai satu bulan upah (upah pokok/upah bersih tanpa tunjangan). Sedangkan pegawai yang belum sampai satu tahun (12 bulan) maka dilakukan perhitungan yang proporsional. Caranya yaitu lama kerja dibagi 12 bulan dikali satu bulan upah. Pemberian THR dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya Idul Fitri.
Sebelum saya menikah dulu, saya sempat bekerja di konsultan perencanaan kota. Walaupun saya belum sampai satu tahun bekerja saya sudah dapat THR yang dihitung secara proporsional.
Ada rasa bahagia saat mendapat THR pertama kali walaupun jumlahnya tidak sampai satu kali gaji pokok.
Setelah menikah, saya tidak bekerja dan uang THR saya dapatkan dari suami dari tempat kerjanya.
Bulan ramadhan ini, suami saya sedikit kaget dengan jumlah THR yang diterima. Tahun-tahun sebelumnya, THR hanya upah pokok saja tanpa tunjangan tapi tahun ini THR-nya yaitu upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan.
Hmmm.. pemilu tahun depan langsung melintas di kepala kami? Ini seperti sebuah strategi. Mungkinkah ini sebuah permainan politik? Kemudian saya pun membuka Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut.
Ternyata jumlah upah satu bulan yang dibayarkan untuk THR itu adalah upah tanpa tunjangan (upah bersih) dan upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Saya pun melihat slip THR suami yang didapat dari upah pokok dan tunjangan anak istri. Apakah tunjangan anak istri sudah termasuk tunjangan tetap? Wah, kalau iya, kenapa tidak dari tahun kemarin-kemarin saja semenjak diberlakukan peraturan itu.
Sejujurnya saya suka saja dengan penambahan-penambahan itu. Namanya juga manusia, hehe. Semoga saja memang benar penambahan itu seperti yang ditulis dalam peraturan menteri dan tahun-tahun kemarin hanya khilaf, hehe.
Duka THR?
Beberapa hari lalu, saya mendengar kabar kalau THR kedepannya akan diambil dari APBD. Bagi pegawai mungkin akan ketar-ketir karena APBD akan ketambahan beban untuk memberikan THR-THR bagi pegawai-pegawai negerinya.
Apa yang menjadi kekhawatiran saya adalah daerah tidak punya cukup dana untuk memberi THR pegawai-pegawainya. Semoga kekhawatiran saya tidak benar.
Cerita duka lainnya tentang THR adalah saat saya tidak bisa mengendalikan diri untuk membelanjakan uang THR. Maunya uang THR saya tabung dan saya alokasikan untuk keperluan lain malah terpakai. Jumlahnya kecil-kecil tapi kalau banyak jadinya sedih juga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H