Bicara tentang perempuan dan standar kecantikan memang tidak ada habisnya. Setiap negara dan setiap daerah memiliki standar kecantikan masing-masing yang menjadi indikator cantik atau tidaknya seseorang. Di Indonesia sendiri, tidak sulit menyebutkan standar kecantikan yang berlaku, kulit putih, tubuh langsing atau kurus, rambut lurus, dan hidung mancung.
Saya sering mendengar pernyataan “cantik itu relatif, semua perempuan cantik” benarkah demikian? Dan bagaimana standar kecantikan masih berlaku hingga sekarang?
Menurut KBBI, standar adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan. Maka, dapat dipahami bahwa standar kecantikan merupakan sebuah patokan yang mengukur cantik atau tidaknya seseorang secara fisik. Standar kecantikan di Indonesia turut dipengaruhi oleh sejarah kolonialisme di Indonesia.
Kolonialisme belanda memunculkan gagasan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan dengan kulit putih. Kemudian, berlanjut dengan kolonialisme jepang yang menganggap bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan berkulit terang dan berkebangsaan jepang. Dari waktu ke waktu, stereotip ini hidup di dalam masyarakat dan masih melekat hingga saat ini.
Saya ingin menceritakan sekilas mengenai pengalaman pribadi saya terkait adik sepupu saya yang berusia 12 tahun. Entah bagaimana, adik saya melabeli dirinya sebagai anak perempuan yang jelek lantaran memiliki kulit coklat, tubuh yang berisi, rambut yang ikal, dan jerawat di wajah. Sejenak itu membuat saya berpikir, apa yang salah dengan itu?
Saya pikir, mungkin, terdapat teman sekelasnya yang mengejeknya dan berkata demikian. Tetapi, ternyata, saya menyadari bahwa keluarga saya pun juga memiliki pandangan yang sama terkait dengan kulit cokelat dan rambut ikal atau keriting.
Mereka menganggap perempuan baru bisa dianggap cantik apabila memiliki kulit yang putih dan rambut hitam yang lurus. Dan saya yakin, bahwa pandangan seperti ini tidak hanya ada di keluarga saya, melainkan sudah mendarah daging pada pandangan masyarakat Indonesia lainnya.
Sebagai perempuan dan sebagai orang yang pernah mengalami tuntutan akan standar kecantikan, saya rasa hal ini cukup meresahkan karena perempuan secara tidak langsung dituntut untuk menjadi seperti standar yang telah berlaku dan apabila mereka tidak sesuai standar yang ada, mereka akan merasa bahwa ada yang salah dengan diri mereka dan harus diubah.
Status perempuan kini menjadi objek komoditas yang dikonsumsi secara visual sehingga perempuan yang dianggap tidak sesuai standar merasa tersingkirkan karena hanya visualnya saja yang diperhatikan (Aprilita, 2016). Standar kecantikan membuat perempuan yang tidak sesuai dengan standar tersebut tumbuh dalam insecurity dan merasa terasingkan lantaran dianggap “tidak sesuai”.
Hal yang ingin saya highlight adalah standar kecantikan yang mustahil dan cenderung “memaksa”. Banyak sekali perempuan yang terobsesi dengan standar kecantikan hingga tidak mempedulikan masalah kesehatan tubuhnya. Salah satu pandangan yang muncul dalam memaknai kecantikan adalah whiteness (Pratiwi, 2018). Perempuan Indonesia kebanyakan memiliki kulit asli kuning langsat atau sawo matang.
Namun, tidak sedikit yang rela membeli krim pemutih berbahan merkuri dan bahan kimia berbahaya lain hanya demi membuat kulit mereka menjadi putih. Untuk menjadi cantik perempuan perlu menderita (Sari, 2016). Selain itu, tidak sedikit perempuan yang rela menahan lapar demi mendapatkan tubuh yang kurus atau langsing.