Mohon tunggu...
Lita Chan Lai
Lita Chan Lai Mohon Tunggu... Freelancer - Semangat Jiwa

---hanya perempuan biasa--- menyukai petualangan alam terbuka,traveling, aktif dikegiatan pecinta alam, senang bersosialisasi dan suka menyimpan buku dibawah bantal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jero Wacik di Mata 3 Tokoh PAN

9 Mei 2016   05:00 Diperbarui: 9 Mei 2016   15:08 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jero Wacik : Mampu gunakan otak kanan dan otak kiri sama baik” kata Joko Santoso HP.

Tahun 1998 saya ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) dan membuatkan lambang matahari putih. Pada saat itu saya belum mengenal Jero Wacik. Baru pada tahun 2004 ketika duduk sebagai anggota DPR-RI di Komisi X, saya mulai mengenal beliau. Kami berbeda partai, tapi tidak menghalangi pertemanan kami. Dari beberapa kali Rapat Dengar Pendapat, saya semakin mengenali cara berfikir Jero Wacik yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Setelah 2 tahun berinteraksi, gagasan dan pikiran tokoh ini mulai mengusik perhatian saya. Di dalam buku yang saya tulis “Jalan Tikus Menuju Kekuasaan” terbitan Gramedia 2006, saya menulis 2 bab khusus tentang Pariwisata Indonesia dan Jero Wacik. Kini setelah sembilan tahun mengenalnya, setidaknya ada enam catatan saya tentang Pak Wacik.

Pertama. Jero Wacik adalah pemimpin yang tidak hanya mampu bicara teoritis tentang kemiskinan atau kesejahteraan. Ia terlahir dari kubangan kesulitan hidup yang luar biasa sejak mula ia dilahirkan. “ bisa bertahan hidup saja sudah bagus” ungkapnya jujur.

Kedua. Jero Wacik adalah tipe birokrat yang mampu keluar dari pola pikir stereotype birokrat. Saya merasa “sparring partner” yang mengesankan dengannya sewaktu duduk di Komisi X DPR-RI.

Ketiga. Ia adalah tipe seorang yang tak pernah lupa dari mana; dari apa; karena apa ia bisa mencapai posisi yang sekarang.

Keempat. Jero Wacik adalah satu dari sedikit pemimpin di negeri ini yang mampu menggunakan sekaligus kedua otak kanan dan otak kiri dengan sama baiknya. Keberhasilan memimpin Depbudpar—bidang yang sarat dengan urusan estetika, seni, budaya—adalah bukti nyata dari kemampuannya menggunakan otak kanannya. Jagat film Indonesia yang bertahun-tahun mati suri ia hidupkan kembali. Beberapa pengakuan UNESCO terhadap karya-karya budaya adiluhung diperoleh semasa kepemimpinannya. Sementara terobosan-terobosan yang ia lakukan ketika menjabat sebagai Menteri ESDM—di antaranya adalah “ Energi untuk Kesejahteraan Rakyat”—membuktikan kepiawaiannya dalam menggunakan belahan otak kiri.

Kelima. Jero Wacik di mata saya adalah tipikal pemimpin yang mampu menyederhanakan masalah. Beberapa kali saya berkesempatan menyaksikan ia berinteraksi dengan masyarakat di desa-desa tertinggal. Masyarakat bisa bertahan duduk berjam-jam di bawah sengatan matahari mendengar pidatonya yang sangat “membumi” dan sarat dengan gurauan-gurauan segar. Berkali-kali tawa mereka meledak. Padahal yang disampaikan Jero Wacik adalah kebijakan pemerintah tentang listrik dan energi, yang umumnya disampaikan pejabat dengan gaya yang njelimet dan membuat jidat berkerut.

Keenam. Jero Wacik adalah seorang pekerja keras yang mengutamakan harmoni. Ia terlahir dan terlatih sebagai sosok yang selalu berfikir positif. Lebih dari itu, ia juga seorang pelobi yang ulung. Diawal jabatannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, ia mengalami tantangan yang tidak ringan di Komisi X DPR-RI. Kritikan-kritikan pedas bahkan yang cenderung bersifat hujatan dilontarkan oleh para “vokalis” legislator terhadapnya.  Ia tidak pernah terpancing oleh situasi seperti itu. Dari awal hingga akhir jabatannya ia tak berubah menghadapi DPR : tetap dengan gayanya yang khas, murah senyum, akomodatif dan bersahabat. Dengan gaya seperti itu ia berhasil meluluhkan hati dan bermitra baik dengan DPR.

Jika “ Demokrat” diartikan sebagai “ pendukung demokrasi” atau aturan masyarakat yang di dukung oleh banyak orang, maka Jero Waciklah salah satu demokrat sejati di negeri ini. Ia bukan aset Bali, tapi aset nasional. Saya pribadi berharap agar Pak Wacik masih bisa merentang lebih luas lagi pengabdiannya terhadap negeri ini.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun