Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perlunya Pembenahan Distribusi Gas Elpiji 3 Kg untuk Warga Miskin

23 Januari 2020   12:57 Diperbarui: 23 Januari 2020   21:17 2691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah warga sedang mengantre membeli gas ukuran tiga kilogram di Kelurahan Kebon Kelapa, Kota Bogor, Selasa (5/12/2017) (KOMPAS.com/RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)

Belakangan ini persoalan gas elpiji kembali mencuat ke permukaan. Mengikuti wacana yang berkembang di media arus utama menunjukkan bahwa kebijakan baru segera diberlakukan, terutama menyangkut pencabutan harga subsidi dan rencana pembenahan penyaluran gas elpiji 3 kg yang selama ini tidak sesuai peruntukannya.

Tidak sesuai peruntukannya dimaksud penulis sebagai persoalan lama yang hingga kini belum tertangani secara tuntas. Gas elpiji 3 kg (gas melon) yang jelas-jelas tertulis khusus untuk rakyat atau warga miskin tetapi dalam kenyataannya malah banyak dikonsumsi kalangan menengah ke atas.

Melihat pengalaman nyata di lapangan, ketika permintaan gas tersebut meningkat, harga cenderung membubung, maka warga miskin semakin terjepit dan sulit bisa mendapatkan kebutuhannya karena kemampuan daya belinya terbatas.

Bayangkan saja, harga eceran elpiji 3 kg yang seharusnya  Rp16.000 s/d Rp 20.000 per-tabung manakala terjadi kelangkaan harganya bisa dua kali lipat, bahkan bisa lebih, dan hanya pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dalam memanfaatkan momen tersebut.

Berapapun jumlah kuota ditambah untuk menutupi kelangkaan, tetap saja tidak mampu bahkan selalu menimbulkan masalah. Justru permainan kalangan tertentu memanfaatkan tambahan kuota untuk memetik profit sebesar-besarnya.

Kasus demikian selalu saja terjadi bahkan belum pernah ada solusi nyata. Kalaupun ada operasi pengawasan terhadap distribusi atau penyaluran gas elpiji (3 kg), terutama yang dikonsumsi kalangan mampu secara ekonomi dan operasi terhadap elpiji oplosan, ternyata dalam perjalanannya tak banyak menyelesaikan masalah.

Operasi penyalahgunaan gas elpiji 3 kg (yang dikonsumsi kalangan ekonomi mampu) sepertinya hanya merupakan langkah temporer sehingga setelahnya masih saja terjadi kasus-kasus serupa di hampir semua daerah.

Jika kemudian kasusnya hendak diusut lebih jauh, masing-masing pihak antara distributor, agen (subagen), hingga pangkalan -- semuanya berkelit untuk memperkuat alasan. Sepertinya kasus ini masuk dalam jebakan lingkaran setan. 

Pemerintah daerah pun sebagai fasilitator ternyata tidak mampu mencari akar masalah untuk membenahi supaya penyaluran gas elpiji 3 kg tidak salah sasaran.

Berlarut-larutnya kasus seperti penulis paparkan di atas, agaknya pemerintah pusat saat ini mulai menaruh perhatian. Harga gas elpiji 3 kg disesuaikan dengan harga pasar, diperkirakan nantinya sekitar Rp 40.000 per-tabung, sedangkan rakyat miskin tetap mendapatkan subsidi melalui sistem tertutup.

Berita di Harian Kompas beberapa waktu lalu menyebutkan: pemerintah menyiapkan langkah menertibkan subsidi elpiji kemasan 3 kilogram mulai pertengahan tahun ini. 

Subsidi tidak lagi diberikan pada harga barang tetapi langsung pada masyarakat yang berhak menerima subsidi. Dengan demikian, harga jual elpiji kemasan 3 kilogram akan disesuaikan dengan harga pasar (Kompas, 15 Januari 2020, halaman 13).

Kebijakan baru yang hendak diputuskan pemerintah ini pastinya layak diapresiasi. Hal ini sebagai langkah responsif sekaligus antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan berulang yang dilakukan pihak tertentu, terutama menyangkut distribusi/penyaluran dan ketentuan harga gas elpiji 3 kg sehingga warga miskin bisa terjamin kebutuhannya.

Menurut penulis, subsidi tertutup (khusus untuk rakyat miskin) yang hendak diberlakukan mulai Juli 2020 mendatang merupakan upaya pembenahan serta penertiban terhadap subsidi elpiji kemasan 3 kg menjadi pilihan solusi yang tepat. Di samping penghematan anggaran negara untuk subsidi, juga mencegah penyalahgunaan gas elpiji supaya sesuai peruntukannya.

Jika dihitung tenggang waktu mulai sekarang masih menyisakan waktu cukup panjang untuk melakukan persiapan serta pengkajian secara menyeluruh terkait penataan kembali tentang distribusi dan penetapan harga gas elpiji 3 kg.

Di samping regulasi, lembaga-lembaga mana saja yang dilibatkan, pembenahan mekanisme penyaluran/distribusi dari produsen hingga konsumen akhir, ketentuan harga (harga eceran tertinggi/HET), dan siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi (dalam hal ini kriteria warga/rakyat miskin) -- semuanya mesti dijabarkan secara terinci.

Warga/rakyat miskin di sini perlu digarisbawahi karena jangan sampai kriterianya tidak jelas sehingga jumlah datanya bias alias tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Ini sering menimbulkan masalah dan perlu dihindari.

Demikian halnya survei  terhadap kebutuhan konsumsi elpiji 3 kg bagi rakyat miskin perlu dilakukan untuk mengetahui berapa banyak kebutuhan rata-rata yang layak dipenuhi setiap bulannya. 

Itu semua hanya dapat dilakukan oleh lembaga tertentu yang dapat dipercaya dalam hal pengumpulan data dan penentuan rakyat miskin. Selama ini data tentang jumlah kemiskinan yang berada di setiap daerah masih subyektif, cenderung bias sehingga perlu di-update sesuai perkembangannya.

Pentingnya data yang valid dalam upaya pemberian subsidi tertutup terhadap rakyat miskin tentu akan menghindari terjadinya salah sasaran seperti yang selalu terjadi di tahun-tahun sebelumnya. 

Dilibatkannya Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan diharapkam mampu memberikan informasi faktual, jika memang perlu juga bisa melibatkan perguruan tinggi sehingga pendataan orang miskin benar-benar akurat.

Penting pula ditambahkan di sini, bahwa data kemiskinan bukanlah data statis, melainkan termasuk data yang bersifat dinamis dalam artian jumlahnya selalu berfluktuasi dari waktu-ke waktu. 

Orang miskin tidak selamanya miskin, demikian pula orang sejahtera bisa menjadi miskin, karenanya update data misalnya setiap semester perlu dilakukan. Menyangkut perubahan skema subsidi dari harga menjadi subsidi langsung ke masyarakat yang berhak menerima dan dipublikasikan secara online hanyalah merupakan teknis.

Namun yang terpenting yaitu tersedianya data warga miskin secara by name yang sudah teruji kebenarannya, sehingga warga miskin terlindungi terutama dalam mencukupi kebutuhannya.

Artikel terkait: [1] [2]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun