Maraknya fenomena pernyataan sikap, demo ataupun disebut unjuk rasa di beberapa tempat pastinya mengundang perhatian berbagai kalangan. Beberapa aksi yang pada umumnya dipicu atas rencana disahkannya sejumlah RUU terkait KPK, KUHP dan lainnya telah muncul dimana-mana.
Di Yogyakarta (15 September 2019) lalu, Dewan Guru Besar UGM dan sivitas akademika berpakaian hitam yang dipimpin Profesor Koentjoro di Balairung Gedung Pusat UGM menyatakan sikap perlawanan terhadap pelemahan KPK.
Demikian halnya sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) yang dihadiri Rektor UII Fathul Wahid di Fakultas Hukum Jalan Tamansiswa Yogyakarta secara tegas menolak revisi UU tentang KPK. Penolakan tersebut diwujudkan dalam penandatanganan spanduk sepanjang 60 meter yang akan dikirimkan ke DPR dan Presiden Joko Widodo (Kedaulatan Rakyat, 10/9/2019, halaman 1).
Disamping aksi damai dan pernyataan di beberapa kampus terkemuka, pada pekan lalu juga telah berlangsung aksi unjuk rasa di kawasan gedung DPR RI dilakukan para mahasiswa dan elemen masyarakat, bahkan disusul di beberapa daerah hal serupa juga dilakukan, salah satu intinya mendesak pembatalan revisi UU KPK yang sudah disahkan DPR.
Demo atau unjuk rasa ternyata berlanjut, bahkan aksi unjuk rasa yang telah berlangsung pada tanggal 25 September lalu dilakukan/melibatkan para siswa/pelajar sekolah menengah se-Jabodetabek  yang dalam akasi tersebut kemungkinan disusupi provokator sehingga ditemui tindakan anarkhis, kekerasan dan perusakan sejumlah fasilitas publik.
Atas dasar kejadian unjuk rasa yang terakhir itulah kemudian Mendikbud pada tanggal 27 September 2019 mengeluarkan  Surat Edaran Nomor 9 tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam Aksi Unjuk Rasa Berpotensi  Kekerasan.
Dikeluarkannya surat edaran tersebut tentu bisa dipahami, terutama dikaitkan dengan keamanan dan keselamatan peserta didik sehingga perlu dilindungi. Apalagi dikaitkan dengan UU Perlindungan Anak, secara normatif hal demikian memang layak dikemukakan.
Nah berkaitan dengan keterlibatan siswa dalam aksi unjuk rasa pastinya juga perlu dicermati. Hal ini mengingat bahwa pemilih pemula dalam pemilihan umum adalah mereka yang telah berumur 17 tahun ke atas. Bukankah para siswa/pelajar yang telah memenuhi syarat dan memiliki hak suara dalam Pemilu itu juga merupakan warga negara yang mempunyai aspirasi yang pantas pula didengarkan (tidak hanya diminta suaranya ketika Pemilu berlangsung).
Bagaimanapun juga, pembelajaran berdemokrasi, menyalurkan pendapat maupun menyampaikan asiprasi secara bertanggung jawab masih perlu ditumbuhkembangkan terutama dikalangan siswa/pelajar.Â
Ini penulis anggap penting karena pembelajaran politik di lingkungan sekolah juga layak dilakukan sejak dini sehingga para siswa (terutama yang sudah berumur 17 tahun)  akan memperoleh bekal untuk mempraktekkan hak dan kewajiabannya sebagai warga negara.  Jangan sampai dikarenakan hasutan pihak-pihak tertentu  mereka hanyut dan ikutan demo atau unjuk rasa yang lepas dari aturan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H