Sama halnya dalam memilih pasangan hidup. Di antara 10 saudara kandung kami sudah berkeluarga semua, hanya 2 orang yang berumah tangga dengan sesama warga Yogyakarta. Selebihnya memilih pasangan hidup yang berasal dari luar Yogyakarta. Bahkan ada yang mendapat isteri dari Padang (Sumatera Barat), ada yang mendapatkan pendamping dari suku Batak/Medan, ada yang suaminya dari Sulawesi Selatan. Pilihan jodoh diserahkan pada masing-masing, orangtua hanya merestuinya.
Dari segi pergaulan dalam bermasyarakat, keluarga kami tidak pernah membeda-bedakan tamu yang datang, siapapun boleh berkunjung, pintu selalu terbuka. Demikian halnya dalam membangun relasi tidak pernah dibatasi, sehingga kami bergaul/bermasyarakat dan memiliki teman dari berbagai suku bangsa Indonesia, bahkan salah satu keluarga ada yang pernah menjadi anak angkat orang Jepang.
Begitu indahnya hidup dalam keberagaman, dan tentunya tidak boleh ada penindasan ataupun tirani terhadap keberadaan minoritas. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa Bhineka Tunggal Ika memang benar-benar perlu dirawat sebagai pilar pemersatu dan hidup damai dalam kebersamaan.
Banyak hal dapat dipetik dalam belajar berdemokrasi termasuk dalam lingkungan keluarga. Dan pastinya ketika kita membahas demokrasi tidak melulu menyangkut persoalan kebebasan (liberty). Lebih dari itu, yang tidak kalah pentingnya yaitu menyangkut persamaan hak (egality) dan persaudaran (fraternity) sehingga semua kepentingan mendapat perhatian yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H