Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Serentak 2019 dan Perlunya Memerhatikan Keselamatan Kerja

4 Mei 2019   22:18 Diperbarui: 4 Mei 2019   22:25 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) pusat, provinsi, dan daerah sudah belangsung 17 April 2019 yang lalu. Prosesi pesta demokrasi yang dimulai sejak beberapa bulan sebelumnya secara umum dapat dikatakan berjalan tanpa banyak mengalami hambatan yang berarti.

Walaupun suhu politik cenderung memanas, terutama saat-saat kampanye dilakukan oleh para kontestan hingga menjelang hari H penyoblosan -- namun situasi keamanan secara nasional masih dapat dikatakan kondusif sehingga pesta demokrasi cukup greget sekaligus dapat pula dibilang sebagai dinamika seiring bidang politik yang sedang dibangun dinegeri tercinta ini.

Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara serentak kali ini memang beda dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Kini para pemilih  dihadapkan pada 5 (lima) surat suara sekaligus untuk memilih siapa yang akan menjadi Presiden-Wakil Presiden, wakilnya di DPR, DPD, wakil rakyat di DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Jika dilihat dari segi waktu dan biaya secara keseluruhan, memang dapat dikatakan Pemilu serentak seperti diamanatkan dalam UU tentang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) dapat dikatakan lebih efisien. Namun demikian, ternyata atas dasar asumsi penghematan waktu dan biaya saja tidak cukup melegakan.  Dampak yang ditimbulkannya ternyata cukup mahal bahkan nyawa manusia menjadi taruhannya.

Seperti dikutip dalam pemberitaan (Kompas,26/4/2018, halaman 3) bahwa menurut Ketua KPU Arief Budiman, hingga kemarin (25/4/2019) sebanyak 225 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 1.470 orang lainnya sakit. Hal itu diduga akibat faktor kelelahan.

Jumlah tersebut sangat dimungkinkan akan bertambah, mengingat perkembangan dan kondisi kesehatan manusia tidak selalu sama sehingga kita tunggu perkembangannya lebih lanjut.

Nah, itulah salah satu dampak yang kurang mengenakkan bagi kita semua. Dalam perjalanannya, ternyata sistem Pemilu serentak kali ini membawa konsekuensi terhadap proses penghitungan suara yang dilakukan secara manual. Petugas KPPS yang menjadi ujung tombak di setiap TPS secara full-time bekerja sesuai beban tugas baru yang harus dijalaninya.

Bisa dibayangkan, bahkan penulis sendiri melihat kondisi di lapangan walaupun hanya sebagai petugas Linmas kelurahan -- bahwa proses rekapitulasi surat suara pada Pemilu 2019 yang dilakukan serentak ternyata tidak semudah seperti diucapkan atau hanya tertulis dalam konsepnya.

Sebagian besar di kota Yogyakarta proses rekapitulasi/penghitungan surat suara rampung hingga usai subuh (pukul 05.00, pagi). Apabila dihitung jumlah waktu yang dilakukan dalam kegiatan tersebut bisa mencapai 20 jam lebih. Suatu pengorbanan dalam meluangkan waktu yang luar biasa demi tugas negara

Proses awal mulai mengurusi administrasi pemilih, baik pemilih setempat dan pemilih pindahan yang berasal dari tempat lain (Kartu A-5) dan urusan serupa lainnya. Semuanya harus diladeni oleh para petugas KPPS.

Rumitnya kegiatan di TPS terlihat ketika proses penghitungan suara dimulai, disamping harus cermat dan teliti dalam membuka setiap surat suara yang dicoblos, diperlihatkan kepada para saksi, kemudian diucapkan dihadapan umum, dicatat dalam notulen. Itu berlaku untuk surat suara yang masuk dan sah, lain halnya jika penyoblosannya tidak sah alias dianggap rusak, prosesnya juga harus memakan waktu, juga diperlihatkan kepada khalayak dan dilakukan pencatatan.

Belum lagi petugas KPPS harus melayani dan menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan para saksi supaya tidak dianggap curang. Inipun proses yang memakan waktu, tenaga, pikiran dan beban mental yang tidak bisa dianggap sepele. 

Melihat kondisi nyata demikian, maka seperti ditargetkan KPU bahwa penghitungan harus selesai hingga pukul 24.00 di hari yang sama adalah sangat tidak dimungkinkan, dan yang ada hanya menambah beban petugas KPPS terpaksa dipacu karena dikejar tenggat waktu (dead-line) melakoni kerja rumit  yang harus seleasi hari itu juga (walaupun MK mengubahnya hingga pukul 12.00 hari berikutya). Ini juga penyebab manusia menjadi stress dan akan memicu kambuhnya penyakit apapun yang melekat pada diri seseorang.

Yang menjadi pertanyaan, undang-undang Pemilu memang secara konseptual cukup sistematis dan lengkap, namun pada tataran praktek ternyata membawa dampak. Salah satunya petugas KPPS yang menjadi korban, Apakah sebelumnya telah dilakukan pembekalan kepada setiap petugas KPPS? Termasuk ujicoba dan simulasi secara matang?  

Apakah setiap petugas KPPS benar-benar sehat jasmani dan rohani? Nampaknya banyak faktor termasuk yang non-teknis yang tidak terpikirkan dan ketentuan seperti tertulis dalam undang-undang hanyalah diatas kertas.

Pada tataran praktek di lapangan, bilamana dilihat dari jumlah ketentuan waktu efektif bekerja manusia proses berlangsungnya penghitungan suara -- ternyata para petugas KPPS bekerja diatas ambang batas kemampuan optimal manusia pada umumnya?

Kalau boleh meminjam UU Ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan maksimal waktu kerja 8 jam, plus lembur maksimal 3 jam perhari. Apa yang dilakukan petugas KPPS malah melebihi ketentuan tersebut sehingga jika dipaksakan pastinya membawa akibat-akibat serius dan sangat merugikan.

Bagaimanapun juga Pemilu serentak yang telah kita laksanakan perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh demi perbaikan kedepan dan menurut penulis, ada baiknya perlu memerhatikan keselamatan kerja/petugas di lapangan.

Memerhatikan dalam hal ini, bisa merekrut tenaga/petugas cadangan termasuk KPPS dan petugas terkait lainnya. Petugas cadangan ini bisa menggantikan apabila ada petugas KPPS yang kondisinya lelah atau letih menghadapi tugas yang lumayan rumit.

Dalam perkataan lain, penyelenggaraan Pemilu bukan hanya sekedar memperhitungkan untung rugi dalam segi materi saja, tetapi faktor manusia yang terlibat didalamnya layak mendapatkan jaminan keselamatan karena manusia bukanlah mesin mekanik yang tidak pernah merasakan lelah, letih, dan beban mental dalam menjalani pekerjaan rumit yang dihadapinya.

Disisi lain, pembuatan/penyusunan UU Pemilu perlu dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari. Perlunya pelibatan kalangan akademisi yang benar-benar punya kompetensi dalam proses penyusunan UU sehingga akan dapat memprediksi implikasi, termasuk meminimalisir dampak negatifnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun