Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengikis Fenomena Rakyat Bermental Miskin

19 Januari 2019   14:51 Diperbarui: 21 Januari 2019   12:19 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengangkat tema tentang miskin atau kemiskinan terutama di negeri ini sepertinya masih/selalu menarik untuk diikuti dari waktu ke waktu. Apalagi tema kemiskinan ini dikaitkan dengan mereka yang nemang pantas/layak disebut rakyat miskin sehingga perlu mendapatkan subsidi atau bantuan dan hidupnya lebih berdaya.

Kemiskinan dalam arti kekurangan materi seperti kebutuhan pangan untuk memenuhi kehidupan manusia sehari-hari, termasuk sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan yang semuanya itu dapat dikategorikan sebagai pelayanan dasar.

Dalam hal demikian selanjutnya tema ini agaknya tidak akan pernah habis dan mendapat sorotan dalam berbagai forum, baik yang dibahas secara luas mencakup berbagai sudut pandang sesuai maksud dan tujuan masing-masing.

Bahkan waktu-waktu terakhir ini sejalan dengan berlangsungnya tahun politik menjelang Pemilu 2019 pilihan tema menyangkut kemiskinan seolah laris manis dijadikan suatu komoditas pesan bagi para pelaku politik praktis dan sebagai bahan "kampanye Pemilu" untuk meraih suara pemilih.

Terlepas dari itu, penulis tidak akan terlibat jauh dalam kaitan kemiskinan dengan kampanye politik, karena masing-maasing mempunyai argumen maupun sudut pandang dan dari sumber data yang tidak selalu sama.

Namun demikian yang menjadi amatan bagi penulis di sini yaitu menyangkut jumlah rakyat miskin itu sendiri yang masih perlu mendapat perhatian terutama dilihat dari pemberlakuan bantuan berupa subsidi barang dan jasa untuk rakyat miskin masih menyisakan masalah sehingga terkesan kurang proporsional, salah sasaran dan masih belum menampakkan keadilan sosial.

Dalam beberapa amatan, sejak beberapa tahun lalu ketika pemerintah menaikkan harga BBM, disusul diberlakukannya Bantuan Langsung Tunai (BLT) -- nampak jumlah rakyat miskin (dan mengaku miskin) bertambah. 

Tidak bedanya ketika pengguliran kebijakan Raskin -- penerimanya pun bukan saja orang miskin. Dan yang belum lama ini terkait keringanan biaya pendidikan dengan adanya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) maka jumlah rakyat miskin terus bertambah.

Fenomena ini pastinya layak dicermati. Pertama, kita harus jujur bahwa data valid yang sudah teruji dan bisa dipertanggung jawabkan tentang jumlah rakyat miskin dinegeri ini masih belum kita punyai.  

BPS, Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah, masih menunjukkan angka berbeda dalam menyimpulkan jumlah rakyat yang dikategorikan miskin. Ini yang kemudian sering menimbulkan persoalan lebih lanjut dan berujung pada debat berkepanjangan.

Kedua, gejala rakyat bermental miskin. Ini juga perlu dicermati, sebab beberapa bentuk bantuan/subsidi bagi kalangan kelas bawah ini seringkali justru menimbulkan rasa iri bagi mereka yang sesungguhnya sudah mampu dan sejahtera. 

Apalagi dengan pemberlakukan bantuan/subsidi secara terbuka -- sangat dimungkinkan si penerimanya cenderung membengkak, siapa saja boleh mendaftarkan diri (sebagai rakyat miskin) untuk menerima/memperoleh bantuan mengingat perhitungan secara ekonomis lebih banyak menguntungkan.

Nah dari sisi ini saja sudah dapat dikatakan bahwa subsidi untuk rakyat miskin semakin membias maksud dan tujuannya. Belum lagi cara penyaluran bantuan/subsidi untuk rakyat miskin yang melibatkan "permainan" pihak lain sering kali mengundang masalah baru. Bukan hanya dapat dibilang salah sasaran, tetapi cenderung atau selalu disalahgunakan hanya untuk memenuhi kepentingan tertentu.

Oleh sebab itu untuk mengefektifkan berbagai bantuan/subsidi bagi rakyat miskin, apapun bentuknya harus mengacu pada validitas data yang sudah terhimpun dan dapat dipertanggung jawabkan.

Di Indonesia banyak para pakar dibidang statistik, sains, informatika dan teknologi informasi. Menghitung jumlah angka kemiskinan dan menyebarluaskan keseluruh pelosok tanah air menurut penulis tidaklah sangat sulit bagi mereka.  

Sekalipun data tentang jumlah rakyat miskin ini tergolong data dinamis, setiap waktu bisa berubah, para pakar akan selalu siap melakukan kalkulasi bilamana memang angka kemiskinan berfluktuasi setiap saat.

Perlunya data valid tentang jumlah rakyat miskin dan sistem pemberian bantuan/subsidi secara tertutup (hanya mereka yang benar miskin) setidaknya akan mengikis rakyat mampu yang bermental miskin. Jangan sampai bantuan/subsidi yang seharusnya jatuh ketangan rakyat miskin tetapi dalam kenyataannya justru dinikmati mereka yang berkecukupan, bermobil pribadi atau berfasilitas lengkap sehingga yang miskin akan selalu tidak berdaya.        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun