Secara umum, dapat disebut bahwa produsen gas elpiji adalah Pertamina, kemudian disalurkan ke distributor atau agen yaitu Hiswanamigas, dari sini kemudian dibagikan ke beberapa Pangkalan resmi yang sudah ditunjuk dan sah terdaftar.
Di pangkalan resmi inilah sesungguhnya sudah tercatat konsumen yang tergolong warga miskin atau pengusaha ekonomi mikro kecil sehingga merekalah yang berhak memperoleh atau membeli gas elpiji 3 kg dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan yaitu Rp 15.500 per tabung.
Penulis pun yang sudah sejak lama, yaitu sejak penggunaan BBM minyak tanah hingga sekarang (pengkalan gas elpiji) masih terdaftar sah sebagai pengelola pangkalan dan melayani masyarakat atau konsumen tidaklah banyak direpotkan oleh permintaan, karena semua konsumen sudah tercatat siapa-siapa yang berhak menerimanya sesuai kebijakan pemerintah yang berlaku.Â
Menurut amatan dan pengalaman langsung di lapangan, pada saat situasi dan kondisi normal, terlebih awal-awal konversi minyak tanah ke gas elpiji tidaklah banyak masalah menyelimuti dunia jual beli gas elpiji terutama untuk ukuran 3 kg per gas melon. Semua jatah bagi warga miskin atau kurang mampu dan usaha ekonomi mikro kecil yang sudah tercatat di beberapa pangkalan resmi tersalurkan secara apa adanya.
Namun seiring dengan perkembangan waktu, terjadinya pergeseran perilaku dan anggapan konsumen bahwa "semua orang boleh menggunakan gas elpiji 3 kg" maka sejak itulah mulai merebak pangkalan-pangkalan tidak resmi di hampir semua tempat tanpa mempertimbangkan wilayah jangkauan konsumennya. Bahkan di beberapa SPBU kini tersedia gas elpiji serupa turut dipasarkan. Bukankah hal ini semakin membebaskan bahwa semua orang yang "mengaku dirinya miskin" sangat mudah untuk memperolehnya?
Masalah elpiji 3 kg atau gas melon sering kali mencuat ke permukaan manakala berlangsung momen-momen tertentu. Terutama di saat memasuki hari besar atau Hari Raya atau Lebaran, menjelang Natal dan Tahun Baru, maupun perayaan Agustusan seperti bulan lalu --gejalanya ditandai mulai dari kelangkaan disusul harganya yang terus naik seolah tak terkendali (mengikuti hukum pasar).
Dalam kondisi demikian yang jelas masyarakat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil yang seharusnya mendapatkan jatah elpiji 3 kg per gas melon sangat dirugikan. Mereka terpaksa harus ikutan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh haknya.
Untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan gas elpiji, kerap kali pemerintah bersama Pertamina mengeluarkan keputusan menambah kuota atau sering disebut kuota fakultatif (pada momen tertentu).
Tetapi hal ini tidak mengubah keadaan secara signifikan, justru "para pemain baru" Â yang tidak terdaftar sebagai penjual atau penyalur resmi yang menikmati keuntungan. Mereka bisa mempermainkan barang dengan harga sesuai hukum permintaan dan penawaran, di samping itu mereka lebih leluasa melakukan jual beli gas karena tidak terikat ketentuan atau aturan harga resmi yang ditetapkan pemerintah.
Nah untuk mengatasi persoalan tersebut, memang pengawasan atau kontrol terhadap distribusi gas elpiji secara umum harus dilakukan. Demikian halnya khusus elpiji 3 kg (bersubsidi) sudah mendesak dilakukan. Caranya yaitu pertama memeriksa dokumentasi aliran penjualan apakah sesuai peruntukannya. Kedua, melakukan sidak terhadap semua pembeli atau konsumen sehingga dapat diketahui apakah elpiji 3 kg benar-benar bisa dinikmati rakyat miskin atau usaha ekonomi mikro kecil (sesuai data terkini).
Yang tak kalah pentingnya yaitu penertiban terhadap "pangkalan-pangkalan tidak resmi" atau para pengecer yang tidak memiki ijin sah untuk ikut menyalurkan jual beli gas elpiji khususnya yang berukuran 3 kg.Â