Momentum lebaran seringkali menjadi ajang berbagai dalam bermacam bentuknya. Seperti halnya para karyawan atau pegawai di lingkungan pemerintah atau disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN) telah menerima apa yang disebut Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2018. Termasuk para pensiunan juga akan menerima hal yang sama.
Tidak terkecuali bagi karyawan swasta. THR tahun 2018 tentunya diberikan sebagai kepedulian para pemilik usaha terhadap para karyawan yang selama ini telah menyumbangkan tenaga dan segenap energinya untuk menunjang perkembangan perusahaan sesuai tujuannya dalam meraih keuntungan.
Semuanya itu tidak lain dapat dikatakan sebagai "hadiah tahunan" sehingga setiap pakerja, baik di lingkungan negeri maupun swasta di negeri ini diharapkan dapat menikmati tradisi lebaran yang dirayakan di hampir seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Nah pemberian THR ini menurut penulis sangatlah tepat. Merupakan kebijakan yang pantas diapresiasi secara positif. Terutama dikaitkan dengan gejala yang nampak seperti kenaikan barang kebutuhan pokok dan tradisi mudik lebaran yang tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit. Dengan demikian para pekerja/pegawai akan dapat melangsungkan lebaran tahun 2018 atau Idul Fitri 1439 H sehingga tidak terlalu banyak dibebani biaya pengeluaran yang relatif tinggi.
Hal yang menyisakan persoalan, selanjutnya bagaimana bagi mereka yang tidak punya pekerjaan tetap? Atau pekerja harian lepas yang bekerja secara serabutan, tidak terikat dalam struktur organisasi/kelembagaan, berpenghasilan tak menentu, tidak pernah memiliki tunjangan apapun akankah mereka juga bisa menikmati lebaran dengan kegembiraan? Bagi kalangan yang terakhir ini pastinya juga layak mendapat perhatian bersama.
Dari sepintas amatan penulis, tidak sedikit mereka dalam memenuhi kebutuhan lebaran demi keluarga serta kebutuhan pendidikan pendidikan anak-anaknya dengan cara praktis dan rela untuk menggadaikan barang berharga miliknya. Utang melalui "cara gadai barang" ini tergolong spekulatif, sebab bilaman tidak bisa menebusnya kembali maka aset mereka semakin susut dan kehidupan cenderung terpuruk.
Sebagai makhluk yang sama-sama diciptakan oleh sang ilahi wajar kalau mereka tidak diperlakukan dan selalu dimarginalkan. Mereka juga butuh biaya ataupun dana tambahan terutama untuk memenuhi hari raya sekedar menyenangkan keluarga, butuh biaya sekolah anak, sama seperti keluarga lain yang ingin mengenyam kesejahteraan dalam suasana  suka cita.
Dalam perspektif agama atau kepercayaan yang kita anut memang kalangan ini (warga kurang mampu/miskin) menjadi patut atau pantas untuk ditolong, dibantu seperlunya. Entah melalui langkah yang disebut antara lain amal, sodaqoh, memberi zakat, dalam artian bagi siapa saja yang merasa memiliki rezeki lebih bisa menyalurkan bantuannya agar si  miskin inipun tidak terbebani biaya hidupnya.
Di tempat usaha penulis yaitu di lingkungan Pasar Kranggan Yogyakarta, setiap pedagang pemilik lapak secara musyawarah dan kesadaran bersama untuk mengumpulkan atau menghimpun  dana khusus diperuntukkan para pekerja lepas (buruh angkutan sampah, tukang sapu, petugas toilet, parkiran, dan buruh lainnya). Mereka mendapatkan "bonus" untuk lebaran bersama keluarganya. Ini sudah berlangsung dua tahun berturut-turut dan telah diputuskan akan berlaku setiap tahun menjelang lebaran.
Ada lagi langkah atau cara lain yang bersifat sosial-kooperatif yaitu pemerintah daerah dan sejumlah pengusaha mendirikan pasar murah, bazar khusus bagi pembeli/konsumen komunitas kalangan miskin dengan menyediakan bahan kebutuhan pokok atau sandang dan pangan, harga terjangkau. Dan tentu saja hal ini didahului dengan pendataan akurat supaya tidak terjadi salah sasaran. Misalnya melalui pemberian kupon-kupon yang tercatat secara by name akan lebih menyentuh mereka yang benar-benar membutuhkan.
Bahkan belum lama berselang di Yogyakarta pada khususnya, para pemuda, pelajar dan mahasiswa secara bersama-sama melakukan amaliah berupa pembagian gratis takjil maupun nasi bungkus bagi mereka yang membutuhkan, terutama saat berbuka puasa di jalanan.
Tidak hanya itu, pembagian nasi bungkus gratis sebagai santapan saur juga diberikan kepada mereka yang memang perlu dubantu. Ini sekaligus dapat dikatakan sebagai bagian langkah positif dalam rangka menerapkan nilai-nilai sosial kemanusiaan di kalangan generasi muda.
Kepedulian semua pihak, disamping pemerintah pusat dan daerah yang selalu monitoring dan fasilitasi secara berkelanjutan terhadap rakyat miskin atau pra-sejahtera maka kebersamaan semua pihak untuk tetap peduli merupakan langkah yang perlu terus ditumbuh dan dikembangkan.
Demikian pula di kalangan pengusaha-pengusaha padat modal yang kini merambah ke segenap penjuru di daerah seyogyanya ikutan peduli dengan menyisihkan sebagian dari perolehan profitnya yang dikemas dalam corporate social responsibility(CSR) masih selalu dinantikan.
Bukan mustahil jika semua ini berjalan secara berkelanjutan, bergotong-royong, dan bekerjasama dalam memupuk kepedulian antar sesama, kepada mereka/warga yang kurang beruntung secara material -- maka bingkai persatuan dan kesatuan semakin kokoh sebagaimana pada setiap 1 Juni kita memperingati sekaligus memaknai lahirnya Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H