Biasanya setiap kali menjelang hari-hari besar/hari raya keagamaan seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru -- tidak sedikit peristiwa dan berita yang mencuat ke permukaan bahkan  menjadi perbincangan umum yaitu menyangkut kenaikan harga barang kebutuhan pokok.
Terutama harga beras, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, dan satu lagi yaitu harga gas elpiji yang kerap tak menentu kenaikannya. Semuanya itu lebih dikarenakan stok atau ketersediaan barangnya yang cenderung langka sehingga harganyapun mengikuti hukum pasar - dimana jika barang yang dibutuhkan mengalami kelangkaan maka harganya meningkat/naik.
Fenomena tersebut tentu harapannya jangan sampai terjadi atau terulang menjelang lebaran 2018 nanti. Ini mengingat konsumen yang membutuhkan barang kebutuhan pokok cukup banyak, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (wong cilik) yang kemampuan daya belinya terbatas supaya dapat hidup layak, sejahtera menikmati lebaran beserta keluarganya.
Salah satu kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok tersebut diantaranya menetapkan regulasi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras, gula pasir, minyak goreng, dan daging sapi yang ditentukan berdasarkan masing-masing wilayah.
Namun demikian, sebaik-baiknya regulasi yang sudah direncana dan dipikirkan secara matang ini -- seringkali direcoki oleh ulah para spekulan, yaitu pihak-pihak tertentu yang secara "bersembunyi" dengan segala caranya memperkirakan kelangkaan akan terjadi pada hari-hari besar mengingat kebutuhan konsumen meningkat. Memborong/menimbun barang kebutuhan pokok untuk dijual kembali manakala barang langka -- dengan harapan memperoleh keuntungan berlipat. Ini merupakan "lagu lama" yang kerap terjadi dari tahun ke tahun.
Salah satu strategi pemerintah (daerah) untuk mengatasinya, diberlakukanlah yang namanya "operasi pasar" yaitu melakukan penambahan kuota/pasokan barang kebutuhan pokok yang diperkirakan mengalami kelangkaan via Bulog. Itupun kadang masih belum mampu mengatasi masalah sehingga ketersediaan barang dan ketentuan HET seringkali tidak sesuai harapan. Mengapa ini masih terjadi?
Berdasarkan pengalaman penulis yang kebetulan sebagai pedagang kecil di pasar (Kranggan, Yogyakarta), langkah Bulog dalam melangsungkan operasi pasar sebaiknya dilakukan secara langsung. Artinya, barang kebutuhan pokok seharusnya didistribusikan langsung kepada para penjual/pengecer di lingkungan pasar, bukan melalui pihak perantara sehingga mencegah kemungkinan "ada main" si perantara dengan pihak lain.
Khusus untuk operasi pasar beras ternyata langkah Bulog saat ini berbeda dengan beberapa tahun lalu. Kalau jaman dulu sistem pembayaran bisa dilakukan melalui konsinyasi (penjualan titipan), barang diterima dan bayarnya menyusul. Tetapi dalam pelaksanaan operasi pasar beras sekarang harus membayar cash -- sehingga keterbatasan modal para pengecer/kios penjual beras di pasar akan tidak mampu membayar beras yang akan dijual kepada konsumen dengan HET yang telah ditetapkan.
Disini nampak bahwa liberalisasi di tubuh Bulog semakin kental, dimana kapitalisme sebagai anak kandung sistem ekonomi liberal telah mewarnai kebijakan yang dimandatkan oleh Presiden RI Jokowi dalam rangka menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa hanya mereka yang bermodal besar yang akan bisa "bermain".
Demikian halnya untuk pemenuhan kebutuhan pokok berupa gas elpiji. Menjelang hari besar seperti lebaran nanti, hampir bisa diprediksi harganyapun melonjak terutama gas berukuran 3 kg yang seharusnya hanya untuk warga miskin. Seberapa besar tambahan kuota dilakukan Pertamina/bekerjasama dengan Pemda setempat, selama pendistribusiannya tidak dilakukan pengawasan -- toh akan jatuh ketangan mereka yang bermodal untuk kemudian dijual dengan harga eceran semaunya. Sebagai pengelola pangkalan gas resmi, penulis belum pernah mendapatkan tambahan kuota walaupun diberitakan secara gencar bahwa kuota pada waktu tetentu misalnya jelang hari besar/keagamaan akan ditambah.
Sebagai gambaran pelengkap perlu diketahui bahwa secara umum alur pasokan barang kebutuhan pokok yaitu dari PRODUSEN (pabrik/perusahaan) >> DISTRIBUTOR (grosir) >> AGEN (atau ditambah SUB-AGEN) >> PENGECER (retail) >> KONSUMEN. Sedangkan khusus untuk gas elpiji alur distribusinya sebagai berikut: PERTAMINA >> HISWANAMIGAS (agen) >> PANGKALAN >> KONSUMEN.
Nah, membincang perlunya menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok ini, banyak hal yang menarik diamati sekaligus dicermati, karena masalahnya tidaklah sesederhana seperti kita bayangkan. Guna mendukung apa yang akan dilakukan pemerintah cq. Kementerian Perdagangan dalam rangka menetapkan regulasi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras, gula pasir, minyak goreng, dan daging sapi yang ditentukan berdasarkan wilayah -- berikut ada beberapa poin kesimpulan yang mungkin bisa sebagai bahan masukan seperlunya:
Pertama, operasi pasar kebutuhan pokok yang hendak dilakukan menjelang hari besar seperti lebaran, natal dan tahun baru sebaiknya dilakukan secara langsung dari Bulog (tanpa melalui perantara) ke para pedagang/pengecer (retail/kios) dengan sistem pembayaran konsinyasi (bayar belakang) misalnya membayar lewat bank yang ditunjuk - supaya barang mencukupi untuk menutup kelangkaan.
Demikian halnya operasi pasar gas elpiji, terutama gas melon/gas 3 kg sebaiknya langsung dari Pertamina ke Pangkalan-pangkalan resmi, supaya tambahan kuota "tidak dipermainkan" di tengah jalan oleh pihak tertentu yang "nakal" untuk meraup keuntungan atas nama kelangkaan pada saat kebutuhan gas melon ini meningkat.
Sebetulnya operasi pasar untuk gas melon/gas 3 kg bisa ditangani Bulog sebagai badan yang dibentuk khusus menangani urusan logistik di seluruh wilayah Indonesia. Ini mengingat sistem pendistribusian gas melon dari tahun ke tahun selalu mengundang masalah sekaligus menghindari penyalahgunaan peruntukannya.
Kedua, Â Pemerintah Daerah bekerja sama dengan instansi terkait perlu membangun Posko Pantauan operasi pasar menjelang dan saat hari-hari besar di seluruh pasar di masing-masing wilayah. Termasuk melakukan pengawasan terhadap distribusi barang kebutuhan pokok jangan sampai disalahgunakan oleh pihak yang hanya mencari keuntungan sepihak.
Perlunya didirikan Posko juga bisa memantau dan menampung keluhan masyarakat sebagai konsumen bilamana menemui masalah misalnya ada pedagang yang menjual kebutuhan pokok seperti: beras, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, dan juga gas elpiji 3 kg/gas melon diluar ketentuan HET yang telah ditetapkan.
Ketiga, sudah saatnya di setiap pasar dibangun papan pengumuman berteknologi digital sejalan dengan kemajuan teknologi informasi. Pengumuman bisa dikemas dalam bentuk running text khusus mengenai harga barang kebutuhan pokok yang tersedia supaya semua orang mengetahui HET masing-masing jenis barang kebutuhan pokok di setiap wilayah.
Informasi pasar seperti disebut diatas akan sangat membantu karena semua pihak akan mengetahui secara terbuka tentang harga-harga jenis barang kebutuhan pokok, sekaligus hal ini akan mencegah para spekulan yang ingin memanfaatkan kesempatan mengeruk keuntungan dengan mempermainkan harga di atas HET.
Bagaimanapun juga operasi pasar dalam rangka untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok masih diperlukan. Kolaborasi atau sinergi antar pihak terkait sangat diharapkan. Hal demikian mengingat pemenuhan kebutuhan pokok merupakan salah satu tanggung jawab kita bersama karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu pula, sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan, tanpa pandang bulu harus diproses sesuai ketentuan yuridis formal yang berlaku, jangan ragu-ragu atau terkesan setengah-setengah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H