Korupsi, sebuah kata yang mempunyai pengertian luas. Secara umum korupsi dapat disebutkan sebagai tindakan/perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau bersama-sama dengan menyalahgunakan wewenang/kepercayaan untuk memperoleh keuntungan.
Kalau dikaitkan dengan uang atau materi, korupsi dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilakukan melalui cara menyelewengkan, menyalahgunakan atau menggelapkan uang untuk memenuhi kepentingan pribadi atau bersama orang lain yang terlibat di dalamnya.
Korupsi yang belakangan ini hampir setiap hari diberitakan media, terlebih setelah banyak kasus terungkap oleh lembaga yang berwenang menangani yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan telah dipublikasikan -- menunjukkan bahwa gejala korupsi ternyata sudah atau masih menyebar dan ditemui dimana-mana.
Beberapa orang dan sekelompok orang (berkolusi) sebagai pelakunya sudah diproses secara hukum, diijebloskan ke penjara. Namun kasus-kasus serupa belum juga hilang di bumi kita, bahkan kasus korupsi masih terus saja tejadi, dan tidak tanggung-tanggung melibatkan para petinggi (oknum) yang seharusnya menjadi panutan/tauladan, mengayomi rakyat di negeri tercinta ini.
Nah berdasarkan pengalaman beberapa kali terjun langsung menjadi pengurus maupun anggota/simpatisan perkumpulan atau organisasi di tingkat lokal, ada beberapa hal bisa penulis cermati sehingga mungkin perlu diketahui mengapa korupsi terjadi?
Pertama, menyangkut sumber daya manusia (SDM) penggerak organisasi, terutama pola kepemimpinan yang kurang atau tidak demokrastis. Misalnya dalam setiap kali merancang, mendiskusikan, merumuskan program/rencana kerja tidak melibatkan unsur-unsur/pihak-pihak terkait dalam organisasi.
Kedua, cara pandang terhadap pekerjaan yang hendak dilakukan. Memandang pekerjaan atau proyek yang akan dilakukan cenderung hanya memikirkan jumlah/besaran anggaran atau dana yang tersediakan. Fokus pemikirannya hanya sepihak, berapa duit yang harus didapat atas pelaksanaan kerja/proyek. Ini biasanya ditandai kurang serius dalam membuat perencanaan, mekanisme kerja organisasi dan pembukuan anggaran tidak jelas, alergi terhadap pengawasan atau tidak terbiasa menerima kritik.
Ketiga, sikap maupun gaya hidup yang konsumtif. Menjadikan materi atau uang sebagai tujuan yang harus dicapai, bukan menjadikan materi/uang sebagai sarana -- sehingga terjadi kecenderungan untuk menghalalkan segala cara, termasuk menyelewengkan atau menyalahgunakan anggaran/dana hanya untuk memenuhi kepentingan diri/kelompoknya.
Kasus-kasus korupsi sering dilakukan oleh mereka yang menduduki jabatan penting dalam organisasi. Hal demikian sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton dalam adagiumnya: "Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely"(Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak).
Demikianlah beberapa hal ikhwal tentang per-korupsi-an yang bisa penulis paparkan berdasarkan pengalaman berorganisasi. Tindakan korupsi seperti disebut diatas selayaknya dihindari karena tidak sesuai dengan norma dan aturan yang tercakup dalam hukum (yuridis formal).
Langkah awal yang penting untuk mencegah perbuatan yang dapat dikategorikan korupsi yaitu bisa dimulai dari keterbukaan informasi, dalam artian antara lain: demokratisasi dan partisipatori dalam sistem organisasi, transparansi (anggaran), akuntabilitas publik -- sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang kita bangun selama ini menjadi lebih dinamis menuju kesejahteraan dimasa depan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H