Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Pemimpin, Bukan Memilih Penguasa dalam Pilkada 2018

22 Maret 2018   06:20 Diperbarui: 22 Maret 2018   09:06 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya pemberitaan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 hampir setiap hari mewarnai halaman-halaman media cetak, media elektronik (radio, televisi), dan juga media online. Terlebih di saat-saat tahapan kampanye politik seperti sekarang, masing-masing kandidat beserta partai pendukung dan para simpatisannya menunjukkan kemampuan/kelihaian dalam merebut simpati rakyat sebagai calon pemilih.

Berbagai cara dan langkah taktis maupun strategis politik dengan mengemukakan isu-isu atau persoalan aktual yang dikemas dalam "janji politik" tentu merupakan upaya menarik perhatian publik, dimana publik ditawarkan program-program yang penuh harapan.

Berdasarkan amatan penulis, banyak para kandidat (calon gubernur, calon walikota/bupati berserta para wakilnya) tidak canggung untuk turun langsung ke lapangan -- terutama di wilayah kantong-kantong pemilih, menjumpai pemilih -- dengan gaya dan penampilan memikat melalui retorika menyampaikan pesan politik yang hendak dilakukan jika kelak terpilih.

Hiruk- pikuk, hingar- bingar perhelatan politik akbar bernama Pilkada 2018, yang berlangsung setiap lima tahunan kali ini jika kita telusuri ternyata menghabiskan anggaran yaitu mencapai Rp 11,4 triliun (Kompas.com - 06/10/2017, 19:47 WIB). Anggaran ini tercatat untuk membiayai pelaksanaan pilkada di 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Sekilas kalau kita bayangkan, bahwa negara telah membiayai "ongkos demokrasi" dalam rangka memilih seorang kepala daerah dan wakilnya sangatlah mahal. Dana yang begitu besar bilamana tidak membuahkan produk cq. terpilihnya tokoh (pejabat) yang mumpuni -- minimal untuk jangka waktu (5) lima tahun ke depan, sama halnya dengan menghambur-hamburkan dana tanpa banyak membawa manfaat nyata untuk meraih kemajuan, terutama di daerah.

Demikian halnya Pilkada sebagai sarana atau langkah yang dilakukan secara demokratis untuk memilih seseorang menjadi kepala daerah -- jangan sampai dilakukan secara emosional, atas dasar suka atau tidak suka, primordialisme sempit, atas nama partai politik semata, atau "politik uang" yang paling sering terjadi belakangan. Disinilah letak pertaruhan sekaligus sangat menentukan nasib rakyat di masa depan.

Hingar-bingar "pertarungan politik" untuk memperebutkan jabatan tertinggi di daerah sebagaimana Pilkada 2018 -- hingga tulisan ini disusun -- masih terus berlangsung. Tidak sedikit para kandidat atau para elit yang penuh ambisi terus bersaing merebut kedudukan orang nomor satu di daerahnya. Namun pada sisi lain masih banyak rakyat yang belum menyadari bahwa Pilkada sesungguhnya merupakan bagian pelaksanaan demokrasi dan semangat reformasi, secara umum bertujuan untuk memilih atau mendapatkan sosok/tokoh (kepala daerah dan wakilnya) yang baik dan berkualitas untuk mencapai kesejahteraan rakyat di daerah.

Pertanyaan yang kemudian perlu dikemukakan adalah untuk memilih siapakah yang pantas menjadi kepala daerah? Dalam perkataan lain, memilih pemimpin atau memilih penguasa di daerah?

Jawaban atas pertanyaan diatas sesungguhnya ada pada masing-masing hati nurani pemilih, yang pada hari penyoblosan nantinya memberikan suara/pilihannya terhadap sosok idola, tokoh yang tentunya diharapkan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Kalau boleh penulis memilih, tentunya penulis akan memilih calon pemimpin (bukan penguasa) di daerah dalam Pilkada 2018. Karena dalam jiwa seorang pemimpin disana terkandung sikap dan perilaku serta komitmen yang kuat untuk membawa kemaslahatan bagi rakyatnya.

Pemimpin adalah orang yang mumpuni, bisa menjadikan panutan/tauladan, pengayom dan melindungi, mampu menjalankan pemerintahan secara lebih berkualitas, rela berkorban untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya, mampu merespon dan mengakomodasi kepentingan rakyat sehingga memberikan solusi nyata demi kesejahteraan rakyat sesuai kebijakan otonomi masing-masing daerah.

Karenanya, dalam menentukan pilihan nantinya kita perlu selektif, tidak asal-asalan memilih. Dan jangan sampai kita terjebak karena "iming-iming sesaat" yang seringkali dilakukan oleh kandidat yang berambisi meraih kedudukan dengan "menghalalkan segala cara" untuk menjadi penguasa semata. Kita semua mestinya perlu memahami bahwa dalam jiwa penguasa itu seperti "musang berbulu domba" dan sangat bisa jadi akan memangsa rakyat yang berada dalam kekuasanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun