Tulisan di rubrik SURAT KEPADA REDAKSI, Harian Kompas, 22 November 2017, halaman 7, berjudul Tentang Anak Muda Jadi Petani, telah menginspirasi saya untuk menyusun artikel ini. Betapa tidak, si penulis pesimis dengan ajakan Pak Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk mengajak anak muda bertani.
Dalam tulisan itu diketengahkan bahwa lahan/sawah pertanian di sekitaran ia tinggal (di Klaten) kini masih banyak namun susah mencari tenaga untuk menggarap sawah tersebut karena para warga terutama tenaga mudanya memilih bekerja di pabrik, kerja bangunan di kota atau merantau ke luar Jawa jualan bakso dan nasi goreng, katanya lebih sukses.
Lebih jauh dikatakan bahwa ajakan pejabat pemerintah dan para pakar kepada anak muda/usia produktif untuk bertani jangan hanya sebatas wacana seperti yang diseminarkan atau ditulis dalam artikel selama ini. Terjun langsung ke lapangan, melihat kondisi nyata sejak awal tanam hingga panen -- sangat diharapkan bilamana hendak memajukan dan menyejahterakan para petani di pedesaan.
Tentu saja tulisan atau pendapat diatas tidak keliru, layak pula tentunya menjadi salah satu bahan masukan dalam kebijakan pertanian di masa mendatang.Â
Suara warga yang sekaligus mewakili para pemuda tersebut ada benarnya, sehingga masukan dari warga akar rumput ini menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Hasil survey BPS pada tahun 2013 menemukan hanya 12 persen populasi tenaga kerja pertanian dengan usia dibawah 30 tahun. Secara keseluruhan pertumbuhan petani di Indonesia negatif, selama empat tahun terhitung dari tahun 2010, jumlah petani berkurang sebesar 2 juta jiwa. Survey menunjukkan bahwa tahun 2010 jumlah petani mencapai 38 juta orang, sedangkan di tahun 2014 jumlahnya menyusut menjadi 36 juta jiwa (http://ekonomi.kompas.com, 22/12/2015).
Jika fenomena demikian tidak diantisipasi maka bukan tidak mungkin akan membawa dampak di masa mendatang. Diantaranya bisa terjadi semakin berkurangnya tenaga di sektor pertanian, rendahnya produktivitas dalam negeri dan pastinya menjadi hambatan terhadap upaya swasembada pangan.
Banyak faktor yang perlu dilihat terkait persoalan-persoalan diatas. Populasi penduduk yang terus bertambah sudah barang tentu membutuhkan tempat tinggal baru, lahan didirikan bangunan termasuk areal persawahan tentu menjadi berkurang.
Sebagian atau sedikit demi sedikit tanah milik petani dijual untuk memenuhi kebutuhan modal anak-anak mereka yang merantau ke luar kota, luar pulau bahkan ke luara negeri (misalnya menjadi TKI) untuk mengadu nasib serta untuk mencukupi kebutuhan lainnya. Pilihan hidup para generasi penerus (generasi muda) ini akan berpengaruh terhadap keberlangsungan pertanian di desanya.
Berlangsungnya gejala tersebut, lambat laun telah menurunkan citra para pekerja di sektor pertanian. Bahkan dipersepsi bahwa bekerja menjadi petani tidak banyak menjanjikan, terutama di kalangan generasi muda lebih memilih pekerjaan lain di luar bidang pertanian seperti bekerja di pabrik, buruh bangunan di kota, atau menjadi pekerja swasta yang dalam tempo seminggu sekali menerima upah.
Melihat situasi dan kondisi demikian, pastinya kita tidak bisa tinggal diam. Bidang pertanian harus mendapatkan perhatian di negara agraris ini, terutama untuk meningkatkan upaya swasembada pangan atau dalam lingkup luasnya untuk menyukseskan strategi ketahanan pangan nasional.