Era pasar bebas yang terus bergulir merambah ke berbagai negara termasuk Indonesia sudah tidak bisa dihindari lagi. Ditengah gencarnya penetrasi pasar produk asing/luar negeri yang mengalir belakangan ini pastinya mengajak kita untuk tetap kritis dalam menyikapinya.
Dampak yang kasat mata atas berlakunya perdagangan antarnegara/internasional ini diantaranya banyak pilihan barang dan juga jasa yang ditawarkan kepada kita dengan harga maupun kualitas produk bersaing. Dulu ketika sebelum berlaku sistem pasar bebas, produk barang sangat terbatas untuk dikonsumsi, hanya produk tertentu yang bisa dipilih.
Namun pada saat ini, hadirnya berbagai penawaran barang dan jasa yang diproduksi secara massif, nampak telah memanjakan kita untuk tinggal memilih (baca: membeli), tentunya menyesuaikan dengan budget -- bahkan sistem pembayarannyapun tinggal mana yang disuka, mau cash atau sistem kredit.
Sejenak bila kita menengok catatan sejarah yang kita alami bersama, sebelum era pasar bebas atau perdagangan internasional berlaku di Indonesia -- kepemilikan barang-barang luks/barang mewah hanya terbatas dipunyai kalangan elite dan kalangan tertentu. Masyarakat menengah kebawah waktu itu hanya cenderung sebagai penonton saja.
Akan tetapi setelah resmi ditandatangani era perdagangan internasional/pasar bebas sekitar tahun 1993 -- maka produk barang dan jasa impor semakin membanjir, bahkan mobil, motor, maupun produk elektronik hingga yang berteknologi canggih (misalnya: handphone, smartphone, komputer, jaringan internet dan sejenisnya) sudah sangat familier dan dimiliki oleh hampir setiap rumah tangga di negeri ini.
Dampak atas kemudahan memperoleh produk impor ini pastinya bisa kita lihat sendiri, kemacetan lalu lintas di jalanan terutama di kota-kota besar kian hari semakin susah untuk dicarikan solusinya. Demikian halnya pemanfaatan kanal-kanal telekomunikasi demi tujuan bisnis menjadikan perebutan antaroperator sehingga menambah padatnya lalu lintas frekuensi yang jika tak terkendali bisa mengganggu lalu lintas udara.
Regulasi yang seringkali terlambat ditengah gencarnya produk impor terutama berkait teknologi pertelekomunikasian menjadi persoalan baru, belum lagi sampah elektronik yang cenderung bertebaran dimana-mana tidak terkendali akan merusak lingkungan hidup kita. Dampak semua ini memerlukan waktu dan tempat tersendiri untuk dikupas lebih jauh.
Kembali pada konteks tulisan, bahwa penetrasi produk impor yang terus membanjir ke negeri kita perlu disikapi. Salah satunya yaitu jangan sampai kita terjebak menjadi manusia konsumtif. Kitapun harus tergugah dan ikut ambil bagian dalam bersaing menghasilkan produk-produk yang bisa mendatangkan keuntungan sehingga profit tidak selalu mengalir keluar negeri.
Generasi muda sebagai penerus bangsa pastinya perlu diajarkan langkah-langkah produktif dengan cara membiasakan jiwa entrepeneur (wirausaha). Mengajarkan anak muda untuk berpikir proses produksi (menghasilkan), bukan hanya menjadi konsumem (pengguna) yang selama ini masih sering kita jumpai. Setidaknya diajarkan cara-cara berdagang untuk menghasilkan produk, mencipta lapangan kerja (minimal untuk dirinya) sehingga mulai belajar meningkatkan nilai tambah dalam proses produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Seperti halnya penulis pernah diajarkan cara berdagang kecil-kecilan sejak usia sekolah dasar oleh orang tua yang kebetulan punya lapak di salah satu pasar, sehingga dalam proses menjual sudah menjadi kebiasaan. Lain halnya dengan anak yang diajarkan hanya terbiasa dengan membeli sehingga jiwa yang tertanam hanya cenderung konsumtif.
Membiasakan mengubah sikap pemakai/konsumtif menjadi pelaku usaha, bekerja mandiri merupakan "sekolah alam" yang akan menambah pengalaman nyata, berani jatuh bangun dalam menghadapi masalah untuk dapat dicarikan solusinya. Sisi lain dapat dipetik dari pengalaman ditempa berbagai masalah yaitu mendorong kita untuk berpikir kreatif, tidak mengenal cengeng atau manja dan selalu menggantungkan pada orang lain.
Jiwa atau sikap yang juga perlu ditanamkan sejak usia muda agar mampu berwirausaha (entrepreneur) dikemudian hari adalah jangan membiasakan untuk berhenti dan merasa puas setelah mencapai atau berada di zona nyaman. Berlama-lama menikmati kenyamanan dan lupa melihat masa depan yang penuh tantangan dan persaingan perlu dihindari.Â
Upaya menangkap peluang dan menemukan cara baru dengan mencermati resiko-resiko yang kemungkinan terjadi perlu ditanamkan pula sehingga dalam melangkah ke depan sudah dipersiapkan secara matang sejak dini.
Di era kekinian, ditengah kepesatan teknologi informasi dan komunikasi dimana anak muda lekat kehidupannya dengan dunia digital -- seperti halnya smarphone sudah menjadi bagian dari hidup sehari-harinya - maka ada baiknya anak muda diajarkan untuk mengoptimalkan fungsi gadget atau perangkat yang dimilikinya untuk kegiatan produktif.
Memanfaatkan kehadiran teknologi untuk mendapatkan penghasilan sampingan, misalnya mencoba untuk terjun menjadi pemasar online, menjadi reseller, mengelola blog (mengenalkan dan menjual produk), atau pilihan kegiatan lain sekaligus memetik benefit ekonomi atas sarana teknologi terkini yang dimiliki. Jangan hanya dibiarkan anak muda tumbuh berkembang hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat menyenangkan, kesana-kemari membawa smartphone dan saban hari diterpa info hoaks tak berkesudahan.
Mengubah mental/jiwa konsumtif memang tidak semudah membalik telapak tangan, pembiasaan sejak dini atau sejak usia muda mulai melangkah produktif menjadikan pilihan strategis -- karena masa depan bangsa ini ada ditangan generasi muda.
 Semua pihak yang berkompeten, mulai dari lingkungan rumah/keluarga, sekolah, dan didalam kehidupan masyarakat -- sudah saatnya menanamkan jiwa entrepreneur/wirausaha bagi kalangan muda supaya negara kita tidak selalu "terjajah" dibidang ekonomi di tengah era persaingan yang semakin ketat di msa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H