Headline di halaman 2 Harian Kompas, 8/11/2017menyajikan judul: Pemerintah Perbaiki Data Kependudukan, dengan sub-judul: Penghayat Kepercayaan Bisa Dicatat di KTP Elektronik.
Diberitakan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi hakim konstitusi lainnya yang mempinpin sidang putusan perkara 97/PUU-XV/2016 UU Administrasi Kependudukan (7/11) memutuskan pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penganut penghayat kepercayaan adalah dengan mencantumkan penghayat kepercayaan tanpa merinci kepercayaan yang dianut seperti dalam kartu keluarga dan KTP elektronik.
Sudah barang tentu keputusan secara resmi (yuridis formal) tersebut akan berimplikasi terhadap perlunya pembaruan/perubahan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Salah satunya adalah mengenai pencantuman kolom agama pada KTP Elektronik yang tadinya hanya berisikan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Khonghucu, selanjutnya bisa ditambahkan Penghayat Kepercayaan.
Keputusan MK yang cukup proporsional ini pastinya layak diapresiasi dan ditindaklanjuti terutama oleh pihak-pihak yang berkompeten. Langkah yang perlu dilakukan atas produk hukum ini terutama berkait dengan perbaikan basis data para penghayat kepercayaan, sistem aplikasi maupun administrasi kependudukan di setiap lembaga Dukcapil hingga di tingkat daerah kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka dengan sudah tidak adanya lagi diskriminasi terhadap para penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME selanjutnya perlakuan yang sama/setara dengan penganut agama di negeri ini layak diberikan. Termasuk dalam hal pelayanan publik dan fasilitasi untuk memenuhi kepentingan para penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia.
Tidak ada lagi kendala pendidikan, pernikahan, larangan pencantuman dalam seluruh giat menyangkut data pribadi maupun ijin giat organisasi para penghayat kepercayaan yang dulunya masih sering mengundang masalah berkepanjangan dan banyak terjadi.
Dapat dicontohkan dan ini menjadikan catatan sebagai pengalaman nyata bahwa beberapa tahun yang telah berlalu -- para penghayat kepercayaan bersikukuh untuk mencantumkan pilihan dalam kolom agama di KTP dengan isian: Penghayat Kepercayaan. Namun aparat birokrat yang menangani kependudukan tidak membolehkan, dan akhirnya isian kolom agama dikosongkan.
Dengan keputusan MK tersebut, berarti pula demokratisasi mulai bertumbuh, hak asasi manusia juga semakin mendapat perhatian secara proporsional. Tidak boleh adanya tirani mayoritas atau penindasan terhadap kelompok kecil, karena dapat mengganggu jalannya aturan perundangan serta melanggar HAM.
Perlu dipahami bahwa gesekan antar penganut agama atau kepercayaan  tidak perlu terjadi. Di negara yang berideologi Pancasila, semuanya bisa dimusyawarahkan dalam arti dilakukan dialog-dialog antar umat sehingga terbangun dialektika yang membuahkan kebersamaan dan toleransi. Disinilah betapa pentingnya diciptakan suatu kerukunan dalam berkeTuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Mungkin sudah saatnya di negeri ini perlu ditingkatkan adanya sosialisasi secara berkelanjutan bagi seluruh warga dengan harapan menjadi "melek religi" sehingga terbangun suatu kesadaran bersama maupun cara pandang yang bijaksana dalam pergaulan antar umat penganut agama dan kepercayaan masing-masing.
 Salam damai dan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H