Di era global ditandai pasar bebasnya seperti sekarang, seiring tumbuh pesatnya dunia industri dan perdagangan akankah sumber daya alam dan lingkungan hidup masih bisa dilestarikan?
Semua itu adalah  tantangan, menggugah kita sebagai makhluk manusia untuk tidak melulu meneriakkan hak, dan mengabaikan kewajiban. Manusia memang mempunyai hak untuk menikmati sumber daya alam yang telah dikaruniakan, namun bukan berarti hal ini hanya untuk memenuhi kepentingan sempit, untuk kepentingan pribadi/golongan. Lebih dari itu sumber alam seperti bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Disinilah letak kewajiban bahwa alam harus dijaga, dirawat demi keseimbangan, keserasian kehidupan manusia di bumi.
Pendekatan secara normatif yang selama ini berlangsung agaknya belum mampu menyelesaikan masalah, apalagi hanya dibarengi angka-angka dan persentase seolah-olah menunjukkan suatu kelayakan untuk mempermulus pelaksanaan proyek ambisius untuk mengeruk keuntungan sepihak dan berjangka pendek.
Otonomi daerah yang diberikan kepada masing-masing kabupaten/kota sebenarnya terkandung makna sebagai langkah atau upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat di daerah. Potensi yang ada di daerah bisa dimanfaatkan atau dilibatkan untuk ikut berpartisipasi dalam rangka mengembangkan daerahnya.
Karenanya, pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan yang berbasis kebudayaan setempat merupakan aspek yang tak bisa diabaikan. Upaya melestarikan sumber daya alam dan keserasian lingkungan hidup sesungguhnya sudah tercakup dalam kearifan lokal (local wisdom) di masing-masing daerah. Aspek ini seringkali dilupakan oleh para pengambil kebijakan tanpa disadari bahwa dalam suatu komunitas masyarakat maupun suku-suku yang ada di negeri ini sudah berjalan aturan setempat mengenai pengelolaan hutan, sungai, ladang, dan sumber daya alam lainnya.Â
Penyelenggaraan penataan ruang sudah saatnya dilakukan melalui pendekatan multi dimensional, melibatkan semua unsur/potensi setempat, termasuk aspek kebudayaan yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Misalnya di masyarakat Jawa, konsep pelestarian sumber daya alam tercakup  dalam kalimat  Memayu Hayuning Buwono (menjaga/mengelola keselarasan alam semesta).
Dimaksudkan pula Memayu Hayuning Buwono merupakan perbuatan etis Jawa yang memiliki kedalaman makna berkaitan dengan pembelaan atau pengabdian demi keselarasan indahnya tata alam kehidupan (Riyanto, 2015:467). Ini tentunya sejalan dengan apa yang disebut: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekali lagi sangat disayangkan bahwa otonomi daerah (pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk pengelolaan sumber daya alam) Â belum dimaknai atau disalah persepsikan sehingga persoalan penataan ruang serta upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup masih berjalan kurang optimal.
Kasus-kasus perusakan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup akan selalu ditemui bilamana otonomi daerah hanya dipersepsi secara sempit, hanya menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) Â tanpa memikirkan kepentingan lebih luas dan berjangka panjang.
Bacaan:
Kearifan Lokal Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan. Editor: Armada Riyanto, dkk. Penerbit: PT Kanisius Yogyakarta, 2015.