Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Menduduki Jabatan, (Kenapa Bisa) Terjerat Kasus Korupsi

4 Oktober 2017   22:10 Diperbarui: 4 Oktober 2017   23:12 1798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan hanya sekedar aneh tapi ini nyata. Bahwa kasus-kasus penyelewengan anggaran (dana), penyalahgunaan wewenang, praktek pungutan liar, penyuapan, gratifikasi atau korupsi bentuk lainnya masih saja terjadi disana-sini.

Tidak hanya di kalangan birokrasi, pejabat publikpun yang duduk di kursi jabatan beserta jaringannya (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pejabat swasta) -- tidak sedikit terjerat kasus memalukan yang dinamakan tindak pidana korupsi.

Jumlah kasus korupsi dari tahun ke tahun selalu ditemui. Penuntutan perkara korupsi dilingkungan kejaksaan dilaporkam sejak 2013 telah lebih dari 2000 perkara. Jumlah operasi tangkap tangan (OTT)  yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga terus bertambah. Tahun 2014 dan 2015 KPK melakukan lima kali OTT. Pada tahun 2016 ada 17 kali dan tahun ini hingga September 2017 sudah ada 16 OTT (Harian Kompas, 25 September 2017, hal.1).

Ini cukup memberikan gambaran bahwa operasi pemberantasan korupsi yang semakin gencar dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- tidak serta merta mampu membendung atau setidaknya menjadikan seseorang (oknum) dan konco-konconya menjadi takut untuk melakukan perbuatan tercela tersebut.

Lemahnya pengawasan dan kurang transparannya pengelolaan anggaran menjadi penyebab umum, disamping sebab-sebab lain yang terkait pertaruhan moralitas melatarbelakangi tindakan kurang terpuji sehingga korupsi masih merajalela, baik di pusat maupun di daerah.

Saking banyaknya kasus korupsi seolah tak pernah henti, merata/menyebar di hampir seluruh  wilayah negeri dan telah diberitakan media, telah pula mendorong munculnya berbagai tanggapan. Baik dalam bentuk ekspresi intelektual di kalangan akademisi hingga unjuk rasa mendatangi lembaga berkait penanganan tindak pidana korupsi. 

Sangat logis pastinya, sebab rakyat sudah jenuh dan geram hampir setiap hari  dijejali berita-berita penggerogotan duit yang dilakukan oleh para "tikus-tikus berdasi" sehingga anggaran negara, yang notabene uang rakyat ditilep untuk memenuhi kepentingan mereka dan komplotannya.

Reaksi dari kalangan rakyat biasa dan kalangan inteketual yang tidak berambisi menduduki jabatan penting ini layak didengar, ditampung dan menjadikan bahan masukan sekaligus menggugah penegak hukum terutama KPK untuk terus bergerak memburu para pelaku korupsi.

Menghilangkan sama sekali penyakit kronis yang dinamakan korupsi di negeri ini sepertinya memang tidak mudah. Walaupun demikian upaya mencegah dan penanganan korupsi harus dilakukan demi supremasi hukum, agar pelakunya jera dan kasus serupa tidak menjalar kemana-mana. 

Mencari sebab musabab korupsi yang sangat kompleks  dan solusinya masih perlu terus dikaji, diteliti melalui pendekatan-pendekatan yang terukur maupun sosial budaya sehingga paling tidak ke depannya akan meminimalisir jumlah kasus korupsi . Fokus dan lokus seputaran para pejabat dan para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait penggunaan anggaran negara layak diprioritaskan.

Hipokrit atau munafik

Sisi lain sebagai tambahan, mungkin juga perlu dikemukakan pada tulisan ini bahwa berdasarkan amatan perkembangan dari waktu ke waktu -- nampaknya ada kebiasaan ketidak-konsistenan antara masa lalu dan masa kini didalam kultur masyarakat kita.

Banyak contoh, ketika seseorang masih menjadi rakyat biasa dan/atau masih sebagai mahasiswa maupun berkecimpung dalam organisasi/LSM -  menyatakan dengan suara lantang dan keras bahkan berdemonstrasi jalanan menentang korupsi ! Namun apa dikata, setelah menduduki jabatan birokrasi atau jabatan publik -- justru dialah yang menjalani praktek tercela alias terjerat kasus korupsi ! Bukan hanya sekedar aneh tapi ini nyata !

Jika ditilik awal proses rekrutmen menduduki jabatan, mereka mempunyai reputasi yang handal: tidak punya track-record yang jelek, berintegritas dan punya komitmen tinggi, pandangan/pemikirannya mewakili aspirasi rakyat.

Beberapa catatan ingatan terutama di kalangan legislatif, sewaktu masih menjadi caleg  dalam kampanyenya  menggebu-gebu, menuntut atas nama partai politik yang ditumpangi - berjanji akan mengikis habis penyelewengan uang rakyat, persis kayak penjual obat di pasar pinggir jalan, "mengobral janji dan menjual mimpi."

Demikian halnya ketika terpilih dan dilantik menduduki jabatannya, rame-rame disumpah dan mengucapkan janji (....mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan?).

Namun apa boleh dikata, dalam perkembangannya diantara mereka yang katanya punya reputasi, punya track record  tak diragukan, punya integritas dan komitmen tinggi, punya pandangan luas untuk menyejahterakan rakyat  - seiring waktu bergulir -- semakin mencuat namanya menjadi topik sorotan di berbagai media karena terjerat kasus korupsi !

Hal ini tentu mengingatkan kita pada adagium Lord Acton yang menyebutkan: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (= kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Adagium yang berasal dari guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke 19 ternyata terbukti.

Kalau adagium Lord Acton tersebut dapat dibilang berlaku universal, mungkin kita perlu melihat cermin diri sendiri, dalam arti mengaca pada kebiasaan tidak baik yang tumbuh di dalam kehidupan kita. Mochtar Lubis pernah menyebutkan bahwa ciri-ciri manusia Indonesia, diantaranya ciri pertama: hipokrit atau munafik, disusul ciri kedua: segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Dua ciri teratas tersebut cukup memberi petunjuk bahwa lika-liku perilaku tidak terpuji yang disebut korupsi dan penyelewengan lainnya sesungguhnya juga berkorelasi dengan kebiasaan yang melekat pada pelakunya. Kebiasaan kurang baik ini mestinya kita buang jauh-jauh karena di era kekinian dan di masa depan sangat dibutuhkan kejujuran dan keseriusan kerja tanpa meninggalkan kepatutan atau kepantasan dalam berkarya nyata.

Pertanyaannya sekarang adalah: akankah kita (pembaca tulisan ini) termasuk penulis yang saat ini tergabung dalam "kelompok penulis, penggerak opini anti korupsi" lantas nantinya bilamana (siapa tahu) menduduki jabatan publik -- juga melakukan hal yang sama yaitu menjadi koruptor?

Berlatih menjadi orang bijak tentunya harus bisa mengevaluasi diri, bertanya pada diri sendiri, selalu mawas diri, diantaranya segera menjawab pertanyaan tersebut diatas dengan kata: TIDAK !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun