Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Enam Hari Sekolah, Kebijakan yang Bijaksana

9 September 2017   22:40 Diperbarui: 9 September 2017   23:17 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang juga menyangkut jumlah hari sekolah merupakan kebijakan yang cukup melegakan. Setidaknya dengan lahirnya Perpres tersebut akan mengakhiri polemik maupun kontroversi terkait full day school(penerapan lima hari sekolah dalam satu mimggu) yang banyak mendapat penolakan dari berbagai kalangan.

Kebijakan ini sekaligus membuktikan bahwa pemerintah ternyata sangat responsif dan akomodatif untuk membangun bidang pendidikan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Terlebih dengan mengingat bahwa letak geografis dan kultur masyarakat Indonesia yang beragam -- maka kebijakan di bidang pendidikan sudah saatnya semuanya tidak harus disentralisasi.

Terbitnya Perpres No.87 Tahun 2017 ini menjadi payung hukum bagi kalangan pejabat di daerah dan sekaligus menggantikan Peraturan Menteri (Permendikbud) No.23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah (termasuk mengenai ketentuan lima hari sekolah dalam seminggu.

Hal yang perlu diketahui dalam Perpres No.87 Tahun 2017 antara lain dapat dipetik pada Pasal 9 yang berbunyi:

Penyelenggaraan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pada Satuan Pendidikan jalur Pendidikan Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan selama 6 (enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu.

Ketentuan hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan pada masing-masing Satuan Pendidikan berasama-sama dengan Komite Sekolah/ Madrasak dan dilaporkan kepada Pemerintah Daerah atau kementerian yang menyenlenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama setempat sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Dalam menerapkan 5 (lima) hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah mempertimbangkan: (a) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan, (b) ketersediaan sarana dan prasarana, (c) kearifan lokal, dan (d) pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.

Daari Pasal 9 Perpres tersebut dapat dipahami bahwa penerapan jumlah hari sekolah dalam seminggu sangatlah opsional. Dalam artian bahwa persoalan ini diserahkan kepada masing-masing daerah yang tentunya disesuaikan dengan situasi maupun kondisi setempat. Enam hari sekolah akhirnyapun bisa diberlakukan dan ini menurut penulis merupakan sebuah kebijakan yang bijaksana.

Perlu dipahami bersama bahwa dalam rangka pendidikan karakter tentu saja disini tidak meninggalkan basis kebudayaan lokal atau kearifan lokal sehingga nilai-nilai kelokalan masing-masih daerah merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri.

Membangun dunia pendidikan tidak harus selalu mengadopsi nilai-nilai yang berkultur kota modern, kota metropolis. Kondisi di Jakarta akan berbeda dengan kondisi di daerah perdesaan, apalagi daerah pelosok yang masih tertinggal. Penguatan pendidikan karakter seperti disebutkan dalam Perpres No.87 Tahun 2017 tentunya patut didukung sehingga diharapkan nantinya hasil dari proses pendidikan anak bangsa disamping membuahkan manusia cerdas juga tidak kehilangan jati dirinya.

Penerapan 5 (lima) hari sekolah dalam seminggu untuk peserta didik (penekanan seharian penuh pada materi ajar) di daerah nampaknya kurang pas mengingat setiap daerah terutama di pelosok perdesaan memiliki kultur yang khas, memiliki kegiatan tradisi atau budaya bernilai kearifan lokal yang masih perlu dilestarikan.

Perlu pula dicatat bahwa modernisasi di segala bidang termasuk bidang pendidikan boleh saja dilakukan, namun layak pula dipahami bahwa modernisasi akan berbeda dengan westernisasi !  Pembangunan menuju modernisasi sesungguhnya merupakan upaya untuk menuju kehidupan yang lebih baik (better life), namun manusianya tidak tercerabut dari akar kebudayaan sebagai landasan berpijak sehingga tetap berkarakter, berjati diri sekaligus memiliki harga diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun