Tema aktual yang mengemuka di berbagai media terkini adalah berkait dengan mudik lebaran. Mudik menurut penulis dapat diartikan sebagai tradisi yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun bahkan rutin dilakukan oleh para perantau yang bekerja diluar daerah asalnya untuk kembali (sementara) ke kampung halaman, bertemu sanak saudara, orangtua dan menengok asal-usul leluhurnya.
Implikasi dari berlangsungnya mudik pada saat momentum lebaran tahun ini maka arus kegiatan berupa migrasi manusia dari daerah industri maupun perkotaan (seperti: Jakarta, atau kota besar lainnya) menuju kampung halaman masing-masing menjadikan lalu lintas (laut, udara, darat) selalu padat, terutama kemacetan lalu lintas darat cenderung ditemui dimana-mana.
Disebutkan dalam harian Kompas (1/7, halaman 22), ‘Sepuluh juta pemudik diprediksi melintasi wilayah Jawa Barat menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Masyarakat diminta memilih waktu yang tepat agar tidak terjadi penumpukan pada puncak arus mudik yang diprediksi terjadi pada 2 dan 3 Juli 2016.’
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memprediksi bahwa jumlah pemudik pada tahun 2016 mencapai 17,6 juta orang. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya (sumber).
Lebih jauh disebutkan, pada tahun 2016 Kemenhub memprediksi jumlah pemudik yang menggunakan angkutan umum terdiri dari penumpang jalan, angkutan penyeberangan, kereta api, angkutan laut dan angkutan udara. Adapun pemudik yang menggunakan kendaraan mobil pribadi diprediksi sebanyak 2,4 juta kendaraan, untuk sepeda motor sebanyak 5,6 juta kendaraan.
Dalam rangka pengamanan kegiatan mudik ini, Polri menggelar Operasi Ramadhaniya. Operasi digelar selama 16 hari, dimulai tanggal 30 Juni hingga tanggal 15 Juli 2016 atau H+7, yang masih dalam musim mudik lebaran nanti.
Pemudik, berinteraksi sosial dan berbudaya
Melihat gambaran maupun geliat para pemudik di musim lebaran ini tentunya hal yang menarik dicermati yaitu berkait dengan setiap aktivitas mereka. Apapun yang dilakukan selama bergiat mudik dapat dipastikan selalu berinteraksi sosial, melibatkan orang lain atau bahkan banyak orang. Bagi pengguna angkutan umum, seperti mulai dari membeli/antrean tiket, menggunakan fasilitas angkutan umum, perbincangan antar penumpang, semuanya akan terjadi interaksi melalui komunikasi antara manusia satu dengan lainnya.
Demikian halnya bagi para pemudik yang menggunakan angkutan pribadi, begitu keluar dari rumah menuju jalanan umum sesungguhnya mereka sudah berinteraksi antara sesama pengguna jalan, menaati rambu/aturan berlalu lintas, menghargai pejalan kaki, dan sebagainya sehingga betapa perlunya memahami semua tempat, wilayah atau lingkungan yang hendak dilalui.
Tidak terkecuali dalam setiap perjalanan, terjebak kemacetan, bahkan ketika singgah atau setelah tiba ditempat tujuan. Ini perlu dipahami, sebab ada kalanya pemudik berasal dari luar daerah memiliki latar belakang karakter, sikap, perilaku yang berbeda sehingga dalam berinteraksi dengan orang lain tidaklah asal-asalan. Mentang-mentang pemudik dari kota besar/metropolitan dengan menggunakan fasilitas mudik serba mewah – lantas menganggap remeh orang lain ataupun cenderung bersikap arogan. Dalam istilah Jawa: ojo dumeh! Â
Kecenderungan sikap arogansi itu semua perlu dihindari, diantaranya betapa perlunya pemudik selalu berinteraksi sosial dan berbudaya. Ini penting disadari dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari termasuk dalam segala hal menyangkut semua aktivitas mudik lebaran.
Menjadi pemudik lebaran yang berbudaya, bukan hanya dipahami sebatas dalam konsep yang tertanam dalam benak manusia, namun perlu diwujudkan dalam sikap, perilaku maupun tindakan nyata. Dalam berinteraksipun diharapkan manusia (pemudik) akan saling menghargai dan menghormati – sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan benturan sikap atau kepentingan.
Pemudik lebaran yang berbudaya berarti pula mereka yang pandai memahami situasi dan kondisi dimana mereka berada, bisa beradaptasi, berempati, bertoleransi, sehingga bilamana proses interaksi tersebut terjadi maka diharapkan membuahkan karya, rasa, dan cipta yang pada gilirannya terbangun kebersamaan ataupun tercipta kepentingan bersama.
Dalam pemahaman lebih luas, menjadi pemudik lebaran yang berbudaya diharapkan pula dapat meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan seperti: kemacetan, kecelakaan lalu lintas, kesalahpahaman, sikap egois dan arogansi, dan lain sejenisnya. Itu semua akan menjadikan situasi mudik lebaran aman, nyaman, lancar dalam suasana yang kondusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H