Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Momentum Lebaran, Menyoal Kemacetan dan Upaya Melestarikan Keperdulian Sesama

25 Juni 2016   02:38 Diperbarui: 25 Juni 2016   02:53 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu fenomena rutin dari tahun ke tahun yang paling kasat mata ketika lebaran tiba yaitu membanjirnya para pemudik yang datang dari kota-kota besar menuju kampung-kampung halaman tempat tinggal masing-masing.

Sarana transportasi udara, laut maupun darat akan dipadati para pemudik, apalagi nanti pada hari-hari menjelang lebaran dapat diperkirakan moda transportasi tersebut semakin dijejali penumpang yang hendak melakukan tradisi mudik di Hari Raya Idul Fitri 1437 H, tahun ini.

Hal demikian tentunya juga sejalan dengan kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya cuti bersama secara nasional yakni mulai Senin tanggal 4 s/d 8 Juli 2016 – maka puncak mudik  bisa diprediksi terjadi pada tanggal 4 dan 5 Juli (baca: H-2 dan H-1).

Mudik lebaran, sebagai bagian dari tradisi di negeri ini sesungguhnya sudah berlangsung atau dilakukan dari waktu ke waktu. Hal yang sangat menarik dicermati dari tradisi ini adalah padatnya arus lalulintas terutama transportasi darat  ditandai hilir mudiknya kendaraan umum penumpang maupun mobil-mobil pribadi.

Konsekuensi dari itu semua, kemacetan lalulintas darat cenderung tidak bisa dihindari, dan sebagai implikasinya kemudian dilakukan berdirinya posko-posko di beberapa titik/lokasi sepanjang jalan rawan kecelakaan maupun imbauan penggunaan jalan alternatif dengan harapan dapat meminimalisir  kemacetan sekaligus sebagai langkah antisipatif terhadap kemungkinan terjadi lakalantas.

Mencari sebab mengapa arus lalulintas cenderung semakin padat dari tahun ke tahun, pastinya tidak terlepas dari sistem transportasi darat yang belum maksimal dalam melayani masyarakat. Belum tersedianya layanan memadai transportasi darat telah mendorong berbagai kalangan memilih penggunaan kendaraan pribadi.

Disamping itu, daya beli masyarakat yang meningkat disertai sistem pembelian dengan cara angsuran atau kredit – ditambah karakter masyarakat konsumtif - telah mendorong hasrat kepemilikan sarana transportasi darat (baca: mobil pribadi) terus meningkat jumlahnya.

Jika pembatasan secara proporsional tidak dilakukan,  bukan tidak mungkin  “jalanan menjadi semakin sempit” akibat daya tampungnya terbatas dan mengundang kemacetan lalulintas.

Menyoal kemacetan, barang tentu tidak pula terlepas dari faktor manusianya sebagai pengguna jalan. Human error, seringkali sebagai penyebab kemacetan, etika berkendara yang masih rendah dan pelanggaran aturan  lalulintas agaknya layak mendapat perhatian.

Termasuk cara perolehan Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang sangat mudah/tidak melalui seleksi ketat sehingga keahlian mengendara masih perlu dipertanyakan. Kemacetan arus lalulintas dan kecenderungan kecelakaan lalulintas (lakalantas) juga berkorelasi dengan kesalahan manusianya itu sendiri.

Lebaran dan Berbagi Rejeki

Berbicara lebaran tentunya tidak hanya menyoal mudik, kepemilikan sarana transportasi pribadi dan kemacetan arus lalulintas angkutan jalan. Lebih dari itu, lebaran akan banyak bermakna bilamana diartikan sebagai tradisi positif yang penuh nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).

Beberapa makna yang dapat ditepik pada momentum lebaran kali ini antara lain: maaf memaafkan dan saling mendo’akan, berkumpul dengan keluarga/famili dan menambah keakraban, berbagi wawasan/pengetahuan.

Mudik lebaran juga sesungguhnya memperkuat rasa memiliki kampung halaman dan melestarikan nilai-nilai kelokalannya secara bersama dalam kegotong royongan. Tradisi yang memiliki nilai sejarah ini patut dibanggakan sebagai landasan pijak sehingga sebagai manusia yang berkarakter seiring dinamika jaman yang terus berpacu menuju era kekinian.

Keperdulian sosial dan momentum lebaran juga layak dilakukan, terutama bagi mereka yang mampu secara ekonomi untuk membantu atau berbagi rejeki sehingga sikap tolong-menolong dan saling memberi – yang semuanya ini merupakan wujud dari nilai persatuan dan kesatuan.

Itu semua sesungguhnya merupakan bagian dari kebudayaan  di berbagai tempat Indonesia seperti yang telah tercakup dalam Pancasila. Karenanya, memanfaatkan momentum lebaran sebagai ajang saling memaafkan/mendo’akan, bergotong royong dalam kebersamaan, menyatu dalam kekeluargaan, berbagi wawasan/pengetahuan, dan tentunya menanamkan sikap keperdulian sosial antar sesama akan lebih banyak bermakna. 

Lebaran bukan hanya sekedar memamerkan kekayaan yang kita miliki, jauh dari itu aksi berbuat kebajikan merupakan langkah nyata dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Atau dalam istilah bahasa jawa: kita membutuhkan tumandhang dan bukan mengharapkan kondhang. Sekian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun