Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneia (KBBI) interpretiv atau interpretattif adalah suatu yang bersifat adanya kesan, pendapat, dan pandangan; berhubungan dengan adanmya penafsiran .
Terdapat tiga prinsip yang terdapat Dalam paradigma interpretif ini, yaitu: (Hanafie, 2007)
1. Setiap individu menyikapi atau memberi makna terhadap suatu peristiwa yang dialaminya dalam sebuah lingkungan di maknai berdasarkan pemaknaan pribadinya yang dia buat sendiri.
2. Adakalanya suatu makna atau penafsiran itu terbentuk sebab adanya intraksi sosial yang dilakukan dengan individu lainnya.
3. Makna yang terbentuk tersebut akan dipahami dan di modifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang juga berkaitan dengan hal lain yang dihadapinya.
Ada dua hal yang kita bisa simpulkan dari tiga prinsip tersebut, terdapat dua asumsi yang menjadi latar belakangnya yaitu pertama asumsi individu dalam melihat dirinya sendiri sebagaimana dia menyimpulkan atau memberi makna atau menafsirkan orang lain. Kedua individu tersebut bersifat aktif dalam artian ia bisa memahami situasi dan kondisi disekitarnya. Paradigma interpretif ini berusaha menekankan pada rasa empati terhadap suatu aktivitas lalu terjadilah proses pemaknaan dan analisis terhadap aktivitas tersebut melalui pemaknaan sudut pandang tertentu.
Berdasarkan hasil Resume Buku Tafsir Kebudayaan Terjemahan dari The Interpretation of Cultures : Selected Essays Karangan Clifford Geertz oleh YD. Britto Wirajati salah satu Dosen di ISI Surakarta menjelaskan “pendekatan atas Kebudayaan harus dilakukan secara interpretatif, sehingga maknanya dapat dipahami. Dalam tulisannya pada bab pertama buku ini, Geertz meminjam argumentasi Max Weber, “...bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung dalam jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri,...” (p.5). Antropologi, menurut rumusan Geertz berusaha untuk menafsirkan simbol-simbol yang muncul dalam perilaku keseharian yang dipraktekan oleh kelompok masyarakat tertentu dalam lingkungan dan konteks historis tertentu”.
Dalam pandangan taylor ada tiga aspek penting dalam paradigma interpretif ini yakni: pertama pendekatan interpretif ini menekankan arti pentingnya pertikularitas berbagai kebudayaan dan berpendirian bahwa sasaran utama dari kajian sosial adalah interpretasi dari praktik-praktik manusia yang bermakna. Dalam pendekatan ini kita harus bisa membedakan antara ekplanasi dan pemahaman. Eksplanasi dalam konteks interpretasi ini berarti berusaha mengidentifikasi penyebab umum dari suatu peristiwa atau praktik sosial dalam konteks sosial tertentu.
Menurut Taylor ada 3 aspek penting yaitu pertama, pendekatan interpretasi menekankan arti penting partikularitas berbagai kebudayaan dan berpendirian bahwa sasaran utama dari kajian sosial adalah interpretasi dari praktik-praktik manusia yang bermakna. kedua kajian-kajian ilmu sosial haruslah bersifat interpretif dan hermeneutik ( memandang fenomena sosial sebagai teks yang akan didekode melalui rekonstruksi imajinatif dari signifikansi dari berbagai unsur tindakan sosial atau peristiwa) dan ketika kajian sosial berhgantung secara ekslusif pada faktor-faktor obyektif (hubungan kausal,struktur sosia, rasionalitas) akan mengalami kegagalan. Dan yang ketiga program interpretif dapat direfresentasikan dalam bebrapa hal atau bisa juga disebut sebagai fungsi interpretif yakni dapat memahami suatu tindakan dan keyakinan dengan berusaha menemukan makna atau signifikansi tindakan atau keyakinan tersebut bagi pelaku, membuka pandangan tentang banyaknya keanekaragaman kebudayaan yang berkenaan dengan cara kehidupan sosial untuk dikonseptualisasikan, perbedaan tersebut akan mengalir membentuk peningkatan diversitas dunia sosial, praktik sosial di manifestasikan oleh makna yang diberikan oleh plaku kepada praktik tersebut, dan tidak ada fakta kasar dalam ilmu sosial yakni fakta yang tidak berkaitan dengan makna spesifik dalam kebudayaan (D.S., 2009)
Sebagi contoh penerapan dari teori ini saya mengambil kasus yang melibatkan Wayan Agus Suartama, yang sekarang marak dikenal dengan panggilan Agus Buntung, adalah seorang pemuda disabilitas tunadaksa tanpa tangan, telah menjadi sorotan publik di Nusa Tenggara Barat (NTB). Agus ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pelecehan seksual tehadap beberapa korban, termasuk mahasisiwi dan anak dibawah umur. Kalau kita pikir-pikir tidak mungkin sorang disabilitas terlebih tunadaksa melakukan plecehan seksual tetapi faktanya berbagai cara ia lakukan seperti ancaman terhadap korban sehingga dia dengan mudahnya memanfaatkan manipulasi emosional dan ancaman psikologis untuk memaksa korban memenuhi hasratnya. Dalam menganalisis tindakan Agus ini kita dapat menggunakan teori interpretasi hukum, seperti:
• Interpretasi tekstual yakni pendekatan yang berfokus pada hukum yang tercatat secara tektual dan secara menyeluruh tidak memandang siapapun, dalam kasus Agus ini, tindakan yang dilakukannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pelecehan seksual sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku
• Interpretasi sosiologi yakni pendekatan yang mempertimbangkan konteks sosial, ekonomoni, dan budaya masyarakat. Kasus ini menunjukkan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya rentan sebagai korban tetapi juga bisa jadi pelaku, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif dalam menanganinya.
Jadi bisa disimpiulkan bahwa interpretasi merupakan suatu penafsiran untuk meningkatkan pemahaman yang melibatkan empati dari setiap individu atau kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H