Mohon tunggu...
Listiyo Fitri
Listiyo Fitri Mohon Tunggu... karyawan swasta -

ingin sesederhana bung hatta, tapi kuat seperti bung karno\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(The Behind Story of) Kartini

21 Oktober 2013   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Api Kartini

Yang menarik dari belajar sejarah adalah kita tidak bisa menyimpulkan maksud peristiwa hanya dari saat waktu peristiwa itu terjadi. Dalam sejarah, satu peristiwa berdiri dari tumpukan jutaan peristiwa yang lain dan dipengaruhi oleh banyak sebab akibat. Dan sejarah hanyalah tafsir dari peristiwa lampau, fakta yang terjadi hanya diketahui oleh yang melakukan, atau bahkan mungkin pelaku pun tidak sadar dengan apa yang terjadi padanya pada saat itu. Seperti jadi detektif, mengumpulkan data-data, informasi-informasi untuk ditafsirkan. Tafsir satu orang tentu bisa berbeda dengan orang satunya, dan itu wajar.

Untuk Kartini, ada banyak tafsir yang coba membicarakan beliau. Mulai yang menyanjung sampai mencibir. Tidak ada yang salah, karena setiap tafsir disertai argumen. Tapi sebaik-baik tafsir adalah yang dibekali dengan data yang cukup. Sekitar dua tahun lalu, terjadi perdebatan seru  di facebook dengan teman-teman tentang gelar pahlawan untuk Kartini. Banyak yang menanyakan apakah pantas Ibu Kartini mendapat gelar itu, ada yang beralasan Ibu Kartini hanya besar karena campur tangan Belanda. Menarik, karena ini justru yang membuatku menjadi penasaran tentang Kartini. Apa yang sudah beliau lakukan? Banyak yang menghujat Kartini tidak konsisten dengan akhirnya menikah dan mau dipoligami, dan apakah yang dia tuliskan dalam surat-surat hanya sebuah angan-angan tanpa tindakan?

Ada beberapa buku bagus yang membahas Kartini. Buku Gadis Pantai-nya Pak Pram, Panggil Aku Kartini Saja-nya Pak Pram,  Edisi Liputan Khusus Kartini Majalah Tempo, Habis Gelap Terlitlah Terang Armin Pane, Kartini Biografi. Dari penyarian buku-buku itu, kesimpulan yang bisa dibuat justru Kartini saat ini telah menjadi mitos. Dengan menjadi mitos, karya dan pemikiran Kartini mengalami reduksi, penyempitan, dan penurunan peran. Kartini identik dengan sanggul, kebaya, pahlawan emansipasi, tapi sedikit yang benar-benar mengetahui api Kartini. Kartini lebih dari hanya tuntutan kesetaraan pendidikan, kesetaraan pekerjaan. Kartini lebih dari itu. Dua hal di atas hanya bagian yang memang menjadi fokus Kartini, tapi bukan utama.

Di tulisan ini, akan lebih dibahas tentang kondisi sekitar Kartini yang menjadi pendukung pemikiran beliau. Sangat perlu mempelajari Kartini dan memaknai ide-idenya, tidak cukup menyimpulkan Kartini hanya dari informasi yang beredar sepintas, karena akan terkesan dangkal. Apapun kontroversi kepahlawanan Kartini, tapi fakta bahwa dia turut menjadi pondasi pergerakan kemerdekaan. Memang bukan dengan berperang, atau bebas keluar tapi dengan menyumbangkan ide yang menginspirasi Bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan lain, bahkan ide2nya sampai sekarangpun masih relevan untuk diterapkan.

Untuk itu, saya setuju dengan sejarawan Hilmar Farid seperti yang ditulis dalam Majalah Tempo. "tapi ia sadar, lebih daripada pendahulunya, bahwa pekerjaan merawat "ruang dalam (spiritual, pribadi, keluarga, dan kebudayaan) itu terutama ada di tangan perempuan. "Perempuan sebagai pembawa peradaban! ...Karena dari perempuanlah orang menerima pendidikan yang pertama, seorang anak belajar, merasa, berpikir, dan bicara - dan saya semakin lama semakin sadar bahwa pendidikan dini bukan tanpa arti penting dalam kehidupan seterusnya. Tapi bagaimana kaum ibu pribumi bisa mendidik anak-anak mereka jika mereka sendiri tidak terdidik?" tulis Kartini. Di sini perjuangan perempuan  memasuki fase baru, yang tidak sekedar menuntut pengakuan, tapi justru mengklaim keberadaanya dalam kehidupan bangsa."

Kartini dan Keluarga

Kembali ke paragraf awal, satu peristiwa dan satu pribadi terbentuk dari tumpukan sejarah, tidak bisa berdiri sendiri. Apa yang terjadi pada Kartini adalah juga bentukan keluarganya. Kartini tumbuh di keluarga yang mempunyai pemikiran maju (progresif). Ini jauh berbeda dari pandangan awamku semula bahwa ayah Kartini adalah priyayi jawa kolot yg memingit dan memaksa anaknya menikah di usia muda. Kakeknya Tjondronegoro menjadi Bupati Kudus pada saat umur 25 tahun, karena prestasinya dipindah menjadi Bupati Demak. Dalam catatan sejarah, kakeknya adalah orang pertama di Jawa yang menyatakan pentingnya pendidikan untuk pribumi. Dia menyekolahkan anak-anaknya, dan waktu pihak Belanda melarang anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah, dia membayar guru privat untuk mengajar anak-anaknya. Satu dari empat anak-anaknya adalah Sosroningrat, ayah Kartini. Cikal bakal dari semangat Kartini tentang pendidikan adalah upaya untuk merawat tradisi pendidikan kakeknya.

Sosroningrat meniru jejak ayahnya dengan membiarkan anak-anaknya sekolah bersama bersama orang Belanda. Bahkan kakaknya Kartini, RMP Sosrokartono adalah mahasiswa pertama dari Hindia yang bisa sekolah di Belanda. Ayah Kartini membiarkan anaknya membaca buku-buku belanda, majalah majalah terbitan belanda, dan selalu berdiskusi dengan anak2-anaknya. Kartini lincah dan pintar, itu yang disukai oleh ayahnya, dan beliau mendukung Kartini. Tapi sang ayah mempunyai kelemahan, dia masih sulit untuk keluar dari tradisi jawa tentang anak perempuan yang harus menjalani pingitan dan menikah. Dia memingit Kartini pada saat Kartini belum genap 13 tahun. Pingitan dalam masa itu adalah membatasi ruang gerak, di dalam kamar, tidak bisa sekolah, tidak bisa bertemu dengan banyak orang lain, bahkan tidak bisa keluar ke aula rumah sampai datang lamaran untuk sang wanita. Kartini menangis bahkan bersujud pada ayahnya untuk tetap bisa sekolah dan tidak dipingit. Tapi sayangnya permintaan Kartini tidak dipenuhi ayahnya pada saat itu.

Kompensasi yang diberikan ayahnya selama masa pingitan adalah tetap membiarkan buku-buku, majalah-majalah, aktifitas  dalam rumah Kartini tetap bisa dilakukan. Pada masa inilah, pemikiran Kartini semakin berkembang dan bisa menghasilkan banyak karya tulisan. Tulisan Kartini tidak melulu tentang kesetaraan tetapi juga tentang antropologi, kondisi sosial masyarakat, etnis tionghoa, monopoli candu, dan posisi Hindia di mata Belanda. Tapi masa pingitan tak berlangsung selamanya, karena ayahnya akhirnya menyerah dan membebaskan Kartini dari pingitan setelah berjalan enam tahun. Setelah bebas, Kartini dan dua saudaranya yang lain Roekmini dan Kardinah banyak melakukan kegiatan untuk merealisasikan ide-ide mereka. Mereka mengunjungi kampung-kampung di Jepara (blusukan, kalau istilah sekarang), untuk mencatat apa yang menjadi keluhan masyarakat, mereka memberdayakan pengukir-pengukir Jepara untuk bisa mengekspor ukiran mereka ke Semarang, Batavia, bahkan Belanda, Kartii secara khusus menciptakan motif lung-lungan (rangkaian) bunga dan macan kurung untuk ukiran Jepara, mereka mendirikan sekolah untuk masyarakat di rumahnya. Semua kegiatan itu mendapat dukungan dari ayahnya. Walaupun karena itu, ayahnya mendapat cibiran dan gunjingan dari sekitar karena terlalu membebaskan putri-putri mereka, yang sangat tabu pada masa itu.

Cibiran terus berlangsung sampai Kartini berusia 24 tahun, yang sudah masuk ke kategori perawan tua untuk usia menikah pada jaman itu. Sosroningrat menderita psikosomatik dan jatuh sakit. Dua orang laki-laki yang sangat disayangi Kartini adalah ayahnya dan kakaknya. Dia tidak kuasa melihat ayahnya sakit-sakitan dia dihadapkan pada dilema apakah mengikuti keinginan ayahnya dan membahagiaannya atau tetap pada cita-citanya. Perlu menjadi catatan bahwa keinginan Kartini untuk tidak menikah bukanlah karena gerakan anti pernikahan, tapi lebih kea rah kekhawatiran apakah ada laki-laki yang akan menerima keanehan-keanehan pemikirannya pada jamannya, keprogresifannya, dan kegiatan-kegiatannya mengingat dia tidak bisa berdiam diri.

Syarat pernikahan

Lamaran ternyata datang dari Bupati Rembang, duda dimana istrinya telah meninggal, dan telah mempunyai tiga garwo ampil (selir). Ayahnya khawatir apa yang akan dipikirkan Kartini dengan kondisi ini, karena beliau tahu persis pemikiran-pemikiran Kartini tentang pernikahan. Kartini meminta waktu 3 hari untuk memikirkannya. Tidak seperti perempuan pada jamannya yang baru bertemu dengan calon suaminya pada waktu menikah, Kartini ingin berkomunikasi dengan pelamarnya dan mencari tau tentang calonnya. Dia adalah Adipati Djojoadiningrat, pejabat yang cakap dalam menjalankan tugasnya sebagai Bupati Rembang, setelah lulus HBS melanjutkan pendidikan di Sekolah Pertanian Wageningen, Netherland. Catatan pendidikan sangat penting bagi Kartini. Kartini mengajukan sejumlah syarat, dia bersedia diperistri hanya jika Bupati Rembang menyetujui gagasan dan cita-citanya, diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar, dan membawa ahli ukir dari Jepara agar tetap bisa mengembangkan kerajinan itu secara komersial di Rembang. Dalam prosesi pernikahan, Kartini meminta pada saat upacara tidak ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria, dan dia akan menggunakan bahasa jawa ngoko, bukan krama inggil ke suaminya sebagai penegasan bahwa seorang istri haruslah sederajat.

Tak diduga, semua syarat itu ternyata disetujui oleh sang bupati. Selain karena memang pandangan modernnya, ternyata Kartini adalah "wasiat jatinya", seperti yang dikutip dalam Liputan Khusus Tempo edisi Kartini. Djojoadiningrat menganggap menikah dengan Kartini adalah wasiat dari mendiang istrinya yang hatus dipenuhi. Mendiang istrinya, Sukarmilah sangat mengagumi Kartini dan pemikiran-pemikirannya. Sebelum meninggal, sang istri berpesan kepadanya agar menikah dengan Kartini demi anak-anak mereka.
Dari semuanya yang paling memberatkan Kartini adalah bahwa sang ayah sangat ingin melihat dia menikah. Ada banyak tekanan pada ayahnya, intrik, kasak kusuk, dan fitnah pada dirinya untuk ayahnya dari bangsawan-bangsawan lain. Ditambah dengan kondisi kesehatan ayahnya yang semakin memburuk setelah terkena serangan jantung.

Dengan berat hati, Kartini menerima lamaran dari Bupati. Kartini sadar pilihannya memupus harapan-harapan lamanya. Seperti yang diungkapkan Kartini pada suratnya "...ah, tapi siapa di bumi ini dapat membanggakan bahwa ia dapat menentukan sendiri seluruh hidupnya? Orang menemui orang lain, terjadi pergulatan, dan jalan hidupnya dibelokkan ke jurusan lain... Apa salahnya menempuh jalan itu?"

Semoga tulisan ini tidak malah ikut menurunkan arti seorang Kartini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun