Mohon tunggu...
LIST INDY
LIST INDY Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Not a good person but trying to be a better one

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencintai Egomu

6 Juni 2024   13:45 Diperbarui: 6 Juni 2024   13:56 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mencintai Egomu

            "Enggak, Dik. Tidak untuk sekarang. Urus saja Bela dan Dito," kata suamiku tegas. Aku terdiam. Kesekian kalinya keinginan menjenguk ibuku ditolak suamiku. Untuk kesekian kali pula aku harus memendam perasaan kecewa.

Aku faham dan sangat mengerti mengapa beliau melakukan ini padaku. Mungkin dia masih terluka dan belum bisa melupakan perlakuan ibuku kala itu. Suamiku adalah lelaki yang sangat halus perasaannya, tak bisa diperlakukan kasar atau sindiran tajam. Sedangkan ibuku adalah wanita keras dan tegas. Jika tak suka sesuatu, ibu akan langsung menegurnya.

"Mas," kataku perlahan berusaha membujuknya. " Aku hanya pergi sebentar, nanti sore aku kembali. Kata mas Arif  ibu sakit keras , Mas. Mas tak ingin ada penyesalan, bukan ?"

Kutatap wajah suamiku dengan wajah mengharap. Kusentuh tangannya , lalu kucium dengan lembut.  Dia menatapku dengan gamang. Perlahan dia berkata ,

"Baiklah. Aku antar kau ke sana. Tapi hanya sebentar ya, Dik?  Kita tak bisa berlama-lama meninggalkan Bela dan Dito di rumah,"

"Terima kasih, Mas," kataku sambil kembali mencium tangannya. "Aku titip Bela dan Dito dulu ke mbak Reni."

Segera aku mengajak Bela dan Dito ke mbak Reni, tetangga sebelah rumah. Mbak Reni mempunyai anak seusia Bela dan Dito. Anak-anakku sudah terbiasa bermain bersama mereka.

Sesaat kemudian aku segera bersiap-siap untuk menuju ke rumah ibuku. Suamiku pun bersiap memanaskan motornya untuk mengantarkanku.

Aku tahu dia tak bakal tega melihatku disindir dan dihina karena kondisi ekonomi keluarga kami. Ya, dibandingkan dengan mas Arif, kakakku, atau dik Yanti, adikku, kami memang tak ada apa-apanya. Mas Arif suami istri berprofesi dokter, sedangkan adikku seorang pramugari  yang bersuamikan pegawai bank ternama. Ibu sering menyindir dan menegurku. Ibu kecewa karena aku berhenti dari  kantor yang cukup bonafid, memilih menjadi ibu rumah tangga dan bersuamikan seorang pedagang obat herbal keliling.

"Assalamu'alaikum , " ucapku saat sampai di rumah ibu. Ada banyak yang berubah sejak mas Arif menempati rumah ini. Teras kini terlihat asri dihiasi tanaman-tanaman kekinian. Kuyakin harganya pasti mahal. Mobil dan  beberapa motor terparkir  dalam garasi yang terbuka. Kutengok suamiku , menuntun motor tua bututnya.

"Wa'alaikum salam. Masuk, Dik," jawab mbak Mira, istri mas Arif.

Dari pintu kamar yang terbuka, Ibu tampak terbaring berselimutkan kain tebal. Wajahnya terlihat renta dengan mata terpejam. Kudekati tempat ibu berbaring, kusentuh lembut lengan beliau. Ibu membuka mata  dan melihat wajahku.

"Ranti...," pekik ibu. Tangannya menggapai leherku dan menarikku ke pelukannya. Air matanya deras mengalir di pipi keriputnya, membasahi kerudungku. Aku tak mampu berkata-kata. Kudekap erat ibu, dan kuciumi wajahnya. Air mataku tumpah.

"Maafkan aku, Nak." Ibu berkata sambil tetap memelukku. " Selama ini ibu terlalu keras padamu. Ibu tak pernah memaklumi pilihanmu. Ibu terlalu egois, Nak. Maafkan ibu..."

Kulepaskan pelukan ibu sambil tetap kupegang lengan kecilnya. Kucium tangannya lalu berkata,

"Tidak, Ibu. Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku telah mengecewakan Ibu. Aku dan mas Hasim minta maaf, Bu. Kami belum bisa membahagiakan Ibu seperti mas Arif dan dik Yanti."

Ibu menunjuk meja kecil di sampingnya. Di atasnya nampak berjajar rapi buku-buku bersanding dengan kotak obat ibu.

"Terima kasih kalian telah mengirimkan ini semua. Isi buku-buku ini membuatku merenung. Aku merasa bersalah padamu. Terima kasih, Nak," ujar ibuku.

Aku bingung karena merasa tak pernah mengirimkan buku --buku itu. Aku menoleh ke suamiku, dia tersenyum dan mengangguk. Aku tersenyum haru. Kuraih tangan suamiku, kudekatkan ke tangan ibu. Suamiku berlutut di sampingku. Raut muka ibu tampak bahagia melihat kami berdua.

"Nak Hasim," kata ibu sambil memegang tangan suamiku. "Terima kasih sudah menjaga dan membahagiakan Ranti. Jaga dia, jangan sia-siakan putri dan cucu-cucuku. Maafkan ibu jika selama ini menyakitimu, Nak. Selama ini kau selalu diam dan tak pernah membantahku. Maafkan ibu, Nak."

Suamiku hanya terdiam dan tersenyum. Lalu mencium tangan ibu dengan lembut. Tak ada raut kesal atau marah di wajahnya. Wajahnya teduh dan sejuk memandang wajah ibu sambil tetap tersenyum.

"Besok ajak cucu-cucuku ke sini. Ibu kangen mereka. Pasti mereka sudah besar-besar dan lucu-lucu," kata ibu perlahan. Air mata ibu menetes perlahan di pipi keriputnya.

"Ya, Bu. Insyaallah besok saya bawa mereka mengunjungi Neneknya," jawab suamiku.

Tiba-tiba mas Arif menepuk pundak suamiku. Suamiku mendekat dan mereka berpelukan erat. Ibuku tersenyum bahagia. Air mata kembali mengalir di sudut matanya.

"Terima kasih sudah menjaga Ranti dengan baik. Sering-sering main ke sini, Ibu akan sangat bahagia," kata mas Arif.

Ma Hasim menganggukkkan kepalanya. Ibu menatap keduanya dengan senyum bahagia.

Terima kasih, Suamiku. Kau telah mampu menaklukkan ego ibuku dengan kelembutan cinta. Semoga kita bersama sampai jannah-Nya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun