Sebuah fakta di lapangan, meski dalam lingkup kecil, membuktikan bahwa 7 dari 10 orang teman saya sudah menikah, dan 5 diantara 7 sudah memiliki bocil.
Di suatu kelas, di mana saya baru pertama masuk dan begitu pun mereka yang baru bertemu saya di ruangan, muncul sebuah pertanyaan, "Apakah Ibu sudah menikah?". Pertanyaan yang kemudian saya jawab begini:
"Doakan ya, nanti kalau Ibu undang, kalian datang." jawab saya sambil bercanda. Suasana kelas yang santuy membuat mereka tak sungkan bertanya, saya pun tidak keberatan. Sudah saya duga pertanyaan itu akan ada.
Ya, di usia yang sudah saya lalui sampai hari ini, adalah wajar jikalau pertanyaan macam itu jadi lebih banyak muncul. Jangankan usia saya, bahkan seusia adik saya pun sepertinya sudah mulai terkena sinyal-sinyal dari si doi untuk mengikatnya. Hadeuhh. Kok tuwir, padahal ya...HAHA. Alhamdulillah. Masih susah dibedakan dengan mahasiswa.
Bicara soal menikah, bukan tidak ada arah ke sana. Ada, waktunya kapan itu yang misteri. Hari ini saya hanya percaya pada jalur langit. Biar Tuhan yang atur, sembari saya mengusahakannya. Karena anak kelahiran 90-an tidak lagi fokus pada soal hal-hal berikut ini:
Menjalin hubungan tanpa tujuan
Bukan lagi masanya. Punya hubungan tapi hanya untuk mengisi kekosongan semata. Diajak jalan tapi tidak tahu ke mana apalagi terserah. Sudah tidak mau nyasar, maunya punya tujuan. Anak 90-an, atau saya saja, akan lebih senang jika tidak perlu memaksakan untuk harus ada status, kalau tidak ingin serius. Dari awal hubungan lebih ke arah teman ya teman saja, cukup. Jelas di awal.
Kalau niatnya akan pergi di tengah jalan, jangan pernah coba singgah. Ehem.
Dekat tapi ghosting
Percuma. Jika ada yang dekat tapi seperti hantu. Muncul-hilang-muncul-hilang, kadang lupa kembali. Kalau komitmen ingin dekat, usahakan berkabar dengan caranya. Tidak harus 24/7 kontak, perjelas komunikasi cukup. Angkatan 90-an kok untuk coba-coba. Hindari, bestie.