Cerita-cerita dalam Semangkok Soto
Berbicara soal soto, saya punya beberapa cerita.
Pertama soal soto di tempat kuliah saya di Semarang. Soto yang saya kenal dari Mbak Kos, yang hari ini jadi sumber rindu. Seingat saya tidak ada nama dari soto itu, tapi saya menyebutnya soto Semarang seperti di mana saya mencicipinya saja.
Soto porsi besar atau porsi kecil, tergantung maunya. Soto yang tidak lupa dituang kecap manis dan beberapa sendok sambal. Tidak ketinggalan gorengan tempe ukuran mini seharga lima ratusan atau bakwan. Kerupuk putihnya kalau ada. Aduhai, sempurnanya mengawali pagi.
Kedua, soto yang biasa jadi incaran saya dan Bapak Ibu ketika jalan-jalan di hari minggu. Sebenarnya tidak terlalu spesial dari segi rasa. Cuma karena dengan siapa saya menikmatinya, rasanya bisa terangkat. Semangkok soto yang selalu saya jodohkan dengan sate telur puyuh dan tempe digoreng kering. Ngangeni.
Ketiga, soto yang berhasil membuat saya pergi denganmu. HAHA. Kalau diingat lucu juga bagaimana seseorang berusaha mengajak saya pergi dengan membawa soto jadi alasan. Bahkan ada penekanan yang dia katakan pada saya agar saya mau. Katanya, "tenang, kali ini saya tidak akan menembakmu lagi."
Soto apa yang sampai membuat saya bisa bergerak hatinya untuk jalan dengannya? Soto sampah. Eits, jangan kira sampah beneran yah. Ini karena penampakan sotonya yang heboh. Oya, soto ini bisa ditemukan di malam hari. Jadi, ya memang jago yang bawa-bawa soto ini jadi senjata ngajak pergi.
Menjadi Soto
Tidaklah perlu ada perdebatan panjang darimana soto berasal, karena setiap soto punya cerita.
Adanya perpaduan budaya, akulturasi, membuat soto berhasil selalu ada di hati. Makanan yang tidak pernah kenal waktu pagi, siang, atau malam.
Mari menjadi soto yang budiman.