Selalu ada yang spesial untuk sesuatu yang spesial.
Dalam menyambut bulan Ramadan, tiap daerah di Indonesia memilik caranya masing-masing. Tergantung apa yang diajarkan leluhur yang kemudian diturunkan secara turun-temurun. Menjadi sebuah tradisi.
Menurut kbbi, pengertian tradisi diartikan sebagai (1) adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; (2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Salah satu tradisi jelang Ramadan di mana tempat saya tinggal adalah nyadran. Sebenarnya bukan hanya khusus di daerah saya saja karena tradisi nyadran sebagian besar dilakukan oleh masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah.
Dari segi bahasa, dikutip dari wikipedia, nyadran diambil dari bahasa Sanskerta yaitu sradda yang berarti keyakinan. Arti yang sama tidak jauh apabila kita membuka kbbi, dimana nyadran merupakan kata yang diambil dari kata dasar sadran.
Sadran yang jika menjadi kata kerja menjadi menyadran yaitu mengunjungi makam atau tempat keramat pada bulan ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan sebagainya) dengan membawa bunga atau sesajian.
Namun tidak hanya itu saja, puncak nyadran ditandai dengan adanya kenduri selamatan. Makanan yang disajikan berupa makanan tradisional seperti ayam ingkung, urap sayur, perdekdel, tempe dan lain sebagainya. Makanan yang nantinya di makan secara bersama-sama setelah berdoa.
Kecipratan Berkah Nyadran
Meski saya tahu nyadran itu apa, saya sendiri belum pernah melakukannya. Hal ini dikarenakan saya bukanlah warga asli sini, Temanggung. Bapak dan Mama saya adalah pendatang, di mana kami tidak memiliki saudara sama sekali ketika pertama kali datang.
Namun seiring berjalannya waktu, kami merasa sangat beruntung karena dipertemukan banyak orang-orang baik. Yang pada akhirnya membuat kami seperti di kelilingi orang-orang yang rasanya seperti saudara. Jadi makin kerasan.
Kota yang dulu asing kini sudah seperti tanah kelahiran. Gara-gara mereka, kami bisa merasakan bagaimana kecipratan berkah nyadran. Tradisi yang sudah menjadi tradisi warga asli sini.
Ya...
Alhamdulillah. Hampir tiap tahun menjelang Ramadan, rumah kami selalu ada yang mengetok pintu pagi-pagi. Pintu yang diketok seorang (atau lebih) sambil membawa rantang berbagai macam lauk, nasi dan juga snack-snack tradisional.
Mempertahankan Nyadran di Tengah Pandemi
Di tengah pandemi corona yang melanda, nyatanya tradisi nyadran tetap berjalan. Akan tetapi memang ada yang berbeda yaitu dengan tidak menciptakan kerumuman. Alhamdulillah, Ramadan kali ini pun kami masih mendapatkan keberkahan nyadran.
Menurut penuturun beberapa teman yang terlibat langsung dengan tradisi ini, kegiatan nyadran memang tetap dilakukan. Hanya ada bedanya. Seperti nyadran yang biasanya di masjid, kini jadi dilakukan di rumah masing-masing. Pertunjukkan kesenian rakyat yang biasanya turut meramaikan Nyadran juga ditiadakan. Nyadran yang tetap berjalan dengan mengikuti anjuran.
Dikutip dari www.suaramerdeka.com, pemerintah Temanggung sebenarnya telah melarang diadakan nyadran untuk memutus penularan corona. Namun di sisi lain, ada warga yang tetap ingin melakukannya. Untuk mengatasi hal tersebut tercetus jalan tengah yang bijaksana yaitu adanya nyadran "online".
Dengan memanfaatkan teknologi, pemuka agama akan membaca tahlil di masjid menggunakan pengeras suara dan warga cukup mengamini dari rumah masing-masing saja. Contoh lainnya ada di Dusun Kuncen, di mana di sana para pemuda mensiasati nyadran online dengan cara siaran langsung melalui Instagram. Kreatif ya!
***
Melihat masa lalu dari tradisi nyadran, nyadran adalah salah satu bentuk usaha para Walisongo agar agama Islam mudah diterima dengan cara menggabungkan tradisi dengan dakwahnya. Jadi nyadran bukanlah kegiatan musyrik, melainkan dipahami sebagai bentuk hubungan leluhur dengan manusia dan juga Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikan tradisi ini siapa lagi?
Nyadran kali ini biarkan doa-doa kita yang berkumpul dan menjadi ramai. Smoga saja Ramadan dan Lebaran bisa kita lewati dengan sebaik-baiknya. Sambil terus memohon agar semua yang sedang tidak baik-baik saja lekas membaik. Aamiin.
Salam,
Listhia H. Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H