Pertanyaan selanjutnya, "kira-kira siapa yang menjadi pihak paling salah di sini?" Apakah kita yang terlalu berharap sehingga ada rasa kehilangan ketika ia mendadak pergi atau dia yang sedang bermain-main dengan perasaan kita? Atau memang salah dua-duanya?
Terlepas dari siapa yang salah. Perilaku mendadak hilang tanpa kabar tetaplah menjadi sebuah perilaku tidak sopan dalam sebuah hubungan baik yang statusnya sudah berpacaran atau masih gebetan. Memutus komunikasi kok sesederhana itu.
Kalaupun bosan, bisa dibicarakan. Sedang tidak ingin diganggu, bisa kok kasih waktu. Apa karena ada yang baru lalu meninggalkan saja tanpa permisi dulu? Sudah menghilang tiba-tiba saja salah. Ditambah karena hanya untuk orang baru, makin salah lagi. Yasudahlah. #sambatdimulai
"...tapi kan kita belum jadian atau masih pacaran, belum benar-benar memiliki kok merasa kehilangan.", begitu kali ya pembelaan pelaku ghosting.
Bisakah Kita Memaklumi Ghosting?
Lantas, apakah kelakukan ghosting ini bisa dimaklumi?
Kalau diberi maklum takutnya malah menjadi-jadi, nanti sudah hilang balik lagi hilang lagi begitu saja. Capek hati. Bukan dimaklum tapi lebih tepat sebaiknya sama-sama kita waspadai saja.
Apalagi ternyata semua memang kembali kepada kita. Kita yang bisa meminimalisasi kejadiannya dengan cara tidak sembarangan memasukan orang baru dalam kehidupan.
Meski kita tidak pernah tahu apa maksud hati orang lain yang sebenar-benarnya, tapi pasti kita punya dugaan apakah orang ini baik untuk hidup kita atau jangan-jangan hanya memberi luka, dengan meng-ghosting-kan kita. Semacam ada bakat ke arah sana. Hmm..
Pesannya memang klise: hati-hati menjaga hati, hatinya harus hati-hati. Semoga kita semua dijauhkan dari orang yang singgah tapi pura-pura sungguh. Aamiin.
Salam,
Listhia H. Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H