Mendengar kata keranda saja sudah mengerikan, apalagi bisa terbang dan mencabut nyawa seseorang?
Meski penakut, faktanya saya justru memiliki ketertarikan pada konten yang bau-bau horor. Terutama konten-konten video yang ada di youtube seperti dari channel Kisah Tanah Jawa, Jurnalrisa, Diary Misteri Sara, sampai Joe Kal.
Namun, ketertarikan horor yang saya alami ini tidak terlalu terjadi pada film yang diputar bioskop. Seingat saya, film "Keluarga Tak Kasat Mata" jadi film horor terakhir yang saya tonton. Setelah itu, saya seperti kehilangan selera menyicip film horror lagi. Entah apa yang merasukikuuu~
Hingga kemudian saya kembali tergugah oleh sebuah film yang baru-baru ini sedang diputar. Film horor yang mampu membuat saya penasaran lalu mengantar saya ke bioskop lagi. Film berjudul Lampor: Keranda Terbang.
Diangkat dari Mitos yang Beredar di Masyarakat Temanggung
Ya, alasan paling kuat yang membuat saya kembali datang ke bioskop untuk menonton film horor Lampor adalah karena film tersebut diangkat dari urban legend yang beredar di masyarakat Temanggung. Sebuah kota yang begitu dekat bagi saya. Kota dimana saya tinggal. Poin plus!
Jujur, awalnya saya pun sempat terkejut mendengarkan bahwa ternyata film ini terinspirasi dari kisah yang pernah terjadi pada masyarakat Temanggung. Pasalnya, sebelumnya saya tidak pernah mendapat informasi ini. Apalagi pernah ditakut-takuti. Mungkin karena saya yang pendatang, bukan warga asli.
Ah iya, ada yang kemudian membuat saya tahu alasannya mengapa film ini bisa bercerita tentang Temanggung. Barangkali ini juga berkat sutradaranya, yang diketahui merupakan putra daerah Temanggung, Guntur Soehardjanto.
Sepanjang Pemutaran, Sepanjang itu pula Jantung Berdebar
Berdurasi 1 jam 35 menit, film ini berhasil membuat saya stres sepanjang pemutarannya. Adegan-adegan yang dipadukan dengan suara-suara yang nyeremin sekaligus membuat kaget, jadi penyebab utama.
Mungkin karena saya yang kagetan kali, ya. Namun, saya tidak sendirian, teman menonton saya waktu itu pun sama nasibnya, membuat entah beberapa kali tangan ini refleks menutup mata dengan bantuan hijab yang kami kenakan. Huehehee, bahkan diadegan siang hari, lho.
Yang membuat saya puas dari film ini adalah jalan cerita yang tidak semudah ditebak. Membuat penonton menerka-nerka lalu merasa puas ketika tahu akhirnya. Ya, film ini tidak hanya bercerita horor yang kebanyakan itu-itu saja, yang mudah ditebak alurnya dan membosankan.
Menurut saya, film ini berhasil membuat saya terngiang-ngiang sampai saya turun tangga lalu menuju pintu keluar, bahkan sampai masih dibicarakan pula di mobil yang mengantar kami pulang. Misalkan saja ketika lampor datang, suara khas kedatangannya benar-benar menempel di telinga. Tidak percaya? Tonton saja, Lur~
Yang Membuat Lampor begitu Temanggung Banget
Terlepas dari ceritanya, film ini ternyata benar-benar rasa Temanggung banget.
Beberapa tempat yang begitu ikonis bagi warga Temanggung seperti jembatan sigandul, jembatan gantung kali galeh parakan, sampai air terjun surodipo --yang saya sendiri baru tahu keindahannya lewat film tersebut-- jadi suguhan yang pas disajikan sebagai penggambaran Temanggung.
Belum lagi aktivitas masyarakat yang Temanggung banget juga terekam apik seperti aktivitas masyarakat yang sedang menjemur tembakau. Pun ditambah lagi dialek-dialek Temanggung-an yang juga ikut dibawa film ini. Bagi masyarakat Temanggung yang menonton, kata-kata itu pasti akan membuat tersenyum dan merasa begitu familiar, deh.
Itu saja ya, semoga penasaraaaan dan membawamu ke layar bioskop terdekat!
Sinopsis: Edwin (Dion Wiyoko) dan Netta (Adinia Wirasti) bersama dua anak mereka, Agam (Bimasena) dan Sekar (Angelia Livie) kembali ke kampung Netta di Temanggung. Netta disambut curiga dan dianggap pembawa musibah karena kampungnya sedang dilanda teror Lampor, setan pencabut nyawa yang membawa keranda terbang. Edwin berusaha membela Istrinya, tetapi skandal busuk dan kejadian mengerikan muncul menghantui. Edwin mulai curiga bahwa ada rahasia besar menyangkut Netta yang tidak pernah diketahuinya. Apalagi ketika nyawa anak-anak mereka pun terancam, menjadi sasaran Lampor.
Salam,
Listhia H. Rahman