Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Beginilah Kalau Saya Berlebaran di Kampung Halaman

5 Juni 2019   22:04 Diperbarui: 5 Juni 2019   22:17 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi | https://inet.detik.com

Hari kemenangan telah tiba, apa kita salah satu pemenangnya?

Genap sudah tiga puluh hari kita berpuasa. Lebaran kini sudah menanti di depan mata. Kembali suci di Idulfitri.

Ada yang tidak bisa lepas dari lebaran. Adalah momen saling memaafkannya. Apalagi di momen Hari Kemenangan memang  menciptakan pertemuan yang berharga baik keluarga, sanak saudara, para tetangga dan orang yang kita rasa dekat padahal bertemu juga belum pernah diciptakan. 

Ya, Lebaran adalah hari yang spesial untuk kita rayakan, meski bukan berarti hanya lebaran saja kita jadi seolah-olah baik dengan memberi maaf kepada siapa saja. Iyakan?

Keunikan Lebaran di Kampung Halaman Saya

Setiap lebaran datang, saya selalu merayakannya di kampung halaman. Di Tasikmalaya, tepatnya lagi di sebuah desa kecil di kecamatan Sukahening. Oleh karena itu, saya memang lebih bisa bercerita banyak berlebaran disana ketimbang di kota dimana saya tinggal sekarang.

Sepanjang berlebaran di desa tempat tinggal Nenek ini, ada yang tidak pernah berubah. Adalah jadwal salat id yang selalu dilakukan pagi-pagi sekali. Tepat disaat matahari baru bangun dari tidurnya, kira-kira.

Jadwal salat yang selalu dilakukan pagi-pagi sekali itu mau tidak mau membuat saya juga harus mempersiapkannya lebih pagi lagi. Ya, walau tidak lagi berpuasa kami tetap harus bangun sama seperti ketika saat sahur, yang beda hanya urusannya bukan soal makanan tetapi soal mengantri mandi. 

Padahal desa tempat kelahiran saya ini cukup dingin ketika malam sampai menjelang pagi datang, tetapi untunglah Nenek adalah orang yang paling pengertian dimana selalu ada air hangat yang disediakan.

Disini, melihat orang-orang sudah mulai merapatkan barisan di masjid pukul lima pagi bukanlah hal yang asing bagi kami. Orang-orang, termasuk keluarga besar kami pun tidak ketinggalan mulai menempatkan diri minimal memastikan sajadah sudah terbetang disana. Ibarat memesan tempat,gitu. Hehe.

Suasana salat Id tadi pagi | photo by teh ai
Suasana salat Id tadi pagi | photo by teh ai
Sepanjang pengetahuan saya, pelaksanaan salat Id di desa ini adalah yang paling pagi dibandingkan dengan kota Temanggung juga dengan Jakarta seperti di Masjid Istiqlal. 

Ya, pelaksanaan yang pagi-pagi itu membuat kami selalu selesai salat Id sebelum jam tujuh pagi. Waktu dimana biasanya umat Islam baru memulainya. Tak jarang, karena selesai duluan, kami bisa menonton siaran langsung salat id di televisi sembari memakan ketupat dan opor ayam. Nyummy.

Setelah Bermaaf-maafan, Lalu Berdoa Bersama di Makam

Sebagai orang Jawa Barat yang sudah  banyak terpapar budaya Jawa, keluarga besar kami cukup beda dalam menghadapi lebaran. Bedanya ada di budaya sungkem atau dalam bahasa jawa diartikan sebagai sujud (tanda bakti atau hormat) yang juga mulai kami adaptasi. Semacam akulturasi.

Ya, setelah kami melakukan salat Id, sebelum makan opor ayam bersama, Nenek sebagai orang yang paling dituakan akan dipersilahkan duduk di kursi. Lalu, satu-satu mulai dari yang paling tua berurutan untuk meminta maaf dan juga doa. 

Tentu yang tak lupa, foto-foto bersama keluarga juga jadi agenda yang sangat disayangkan bila dilewatkan begitu saja.

Sebelum benar-benar makan, kami bersiap untuk pergi lagi sebentar. Kali ini tujuannya adalah makam.  Makam Kakek dan leluhur yang sudah terlebih dahulu berpulang.

Sudah menjadi budaya disini, datang ke Makam dan mendoakan atau disebut dengan Nyekar dilakukan ketika lebaran datang. Tak hanya mendoakan saja, budaya ini juga sebagai pengingat bahwa setiap yang bernyawa pasti akan menjadi tiada pada waktunya.

Barangkali itulah sedikit cerita merayakan lebaran dari sebuah desa di Jawa barat. Sedikit karena pasti ada banyak perayaan yang dimiliki tiap-tiap daerah dengan keunikannya masing-masing. 

Terlepas dari perbedaan cara merayakan lebaran, semoga ibadah puasa yang kita lakukan tidak hanya mendapat lapar hausnya saja  tetapi mendapat nilai sebagai ibadah kepada-Nya. Aamiin.

Selamat Idulfitri, semua sudah dimaafkan.

 Jadi kapan kita bisa merayakan di kampung halaman barengan? #eh

Salam,

Listhia H. Rahman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun